Minggu, 22 Agustus 2010

Krisis Perkembangan

Krisis perkembangan berkenaandengan suatu tuntutan hidup yang sukar dan berbahaya, yang lazim dialami oleh kebanyakan orang dalam budaya tertentu pada saat tertentu dalam perkembangan hidupnya. Hal itu dapat juga dikatakan sebagai perasaan tidak berdaya dalam menjalankan tuntutan-tuntutan perkembangan yang seharusnya diselesaikan pada tingkat hidup tertentu sebelum orang dapat berhasil menjalankan tuntutan perkembangan berikutnya. Krisis ini biasa, dalam arti krisis itu terjadi sebagai bagian integral dari suatu proses pertumbuhan. Contoh situasi yang dapat menimbulkan krisis jenis ini ialah : kelahiran, disapih (lepas susu ibu), latihan ke kamar kecil, kompleks odepus, ke sekolah, masa remaja, memilih pekerjaan, meninggalkan rumah, meninggalkan sekolah, pertunangan, penyesuaian diri dalam pernikahan, kehamilan, menjadi orang tua, usia tengah baya, kehilangan orang tua, mati haid (menopause), pensiun, kematian teman hidup, kematian teman-teman, kematiannya sendiri. Pengalaman-pengalaman itu adalah saat krisis bagi orang sejauh hal itu menimbulkan masalah yang tak dapat ditanggulangi secara memuaskan dengan cara-cara yang pernah digunakan.
Collins (1980, hal. 50) menyebut jenis krisis yang ketiga, yaitu krisis eksistensial (keberadaan). Krisis ini bertumpang tindih dengan dua jenis krisis sebelumnya, dan datang ketika menghadapi kenyataan yang mengganggu karena mengaburkan makna (tujuan dan kelayakan) hidup seseorang, seperti kesadaran bahwa : saya gagal, saya terlalu tua untuk mencapai tujuan hidup saya, saya telah kehilangan kesempatan, saya sekarang janda/ duda, hidup saya tanpa tujuan, pernikahan saya telah berakhir dengan perceraian, penyakit saya tak tersembuhkan, tidak ada lagi yang dapat saya percaya, rumah dan harta saya musnah karena kebakaran, saya telah pensiun, saya telah ditolak karena suku saya. Dapat dikatakan bahwa dalam hal ini orang tidak berdaya menghadapi kemungkinan terjadinya hal-hal yang bila benar-benar terjadi akan merusak integritasnya, keutuhannya, dan identitasnya. Atau bila orang tidak mampu mencegah kehilangan hal-hal yang memberinya makna hidup, yaitu segala sesuatu yang telah banyak diinventasikannya secara emosional.
Dalam tahap perkembangan krisis di atas jelas terlihat adanya kejadian pemicu timbulnya krisis. Kejadian ini tidak boleh dicampuradukkan dengan krisis itu sendiri sebab krisis adalah reaksi batin terhadap kejadian yang merupakan bahaya dari luar orang.
Dalam diagram berikut Stone menggambarkan pemisahan itu dan menyebutkan suatu tahap yang tidak tegas-tegas dinyatakan dalam pendapat Caplan. Menurut Stone perkembangan krisis ialah :

















Diagram 1 – Perkembangan Krisis
Menurut diagram itu, dalam suatu perkembangan krisis, pertama-tama harus ada perangsang atau kejadian pemicu (faktor pencetus). Kejadian itu berbahaya dan membangkitkan emosi, misalnya : kematian, kehilangan pekerjaan, dan sebagainya. Tahap kedua ialah tafsiran seseorang atas situasi itu. Di sini orang itu “mengolah” kejadian tersebut dan memahaminya sebagai ancaman yang berat. Di sini bukan hanya meliputi pengetahuan dan kepercayaan, gagasan dan harapan orang itu, melainkan juga persepsinya yang unik atas unsur-unsur khusus dari situasi itu. Di sini setiap orang mempunyai cara sendiri-sendiri untuk memandang kejadian tertentu.
Pada tahap berikutnya, cara penanggulangan orang itu dan sumber daya pribadinya (yaitu sumber daya dari luar – misalnya : teman, relasi, pendeta, dokter, dan sumber daya dari dalam – misalnya : kemampuan menanggulangi dan menghadapi situasi, masalah, dan perasaan-perasaan baru), dipakai untuk melakukan sesuatu atas pemahamannya mengenai kejadian itu.
Di sini kelayakan sumber daya dan cara penanggulangan yang tersedia mempengaruhi sampai sejauh mana kejadian yang dialami itu menjadi krisis. Jika orang menganggap suatu motif atau nilainya yang penting terancam, maka kegiatan penanggulangan digerakkan atas dasar ancaman itu, dan atas dasar pemahaman bahwa hidupnya, kesehatannya, kekayaannya, atau hubungan sosial yang disenanginya dalam bahaya. Jadi, tujuan penanggulangan adalah penyingkiran ancaman itu. Sampai pada tahap ini tampak bahwa dua variabel, yaitu sumber daya penanggulangan dan tafsiran atas situasi itu berperan besar dalam proses perkembangan krisis.
Akhirnya orang itu masuk ke dalam krisis itu sendiri, yaitu memberikan reaksi secara batin atas bahaya yang datang. Kunci perkembangannya ialah bahwa proses penafsiran orang itu (pemahamannya) dalam menganggap kejadian itu sebagai ancaman gawat dan proses penanggulangan tidak segera menyelesaikan situasi tersebut. Reaksi itu berlangsung cukup lama. Krisis yang berat dapat berakhir dalam empat sampai enam minggu, walaupun akibatnya mungkin bertahun-tahun, khususnya dalam perkabungan.





















Jadi berbicara mengenai krisis menurut pendapat di atas bukan berbicara mengenai kejadian di luar diri seseorang, walaupun kejadian seperti itu ada yang menjadi pemicu krisis.
Berdasarkan dua pendapat di atas kita dapat memahami perkembangan krisis secara lebih lengkap dan rinci seperti tergambar pada Diagram 2.
Dalam diagram itu terlihat bahwa perkembangan krisis sejak sebelum terjadi sampai kemungkinan-kemungkinan akibatnya, yaitu :
Pada suatu saat di perjalanan hidupnya, seseorang menyadari terjadinya atau akan terjadinya suatu peristiwa. Peristiwa itu mungkin peristiwa yang benar-benar terjadi atau hanya khayalan belaka, mungkin sudah terjadi, mungkin juga dianggap akan terjadi, mungkin sudah dapat diduga sebelumnya, atau tiba-tiba saja terjadi. Peristiwa yang jelas yang berpotensi menimbulkan krisis itu adalah peristiwa yang menuntut perubahan persepsi dan hubungan-hubungan, atau yang menuntut perubahan gaya hidup.
Pada tahap kedua, orang itu memandang peristiwa itu, baik secara rasional atau tidak rasional, sebagai peristiwa yang membahayakan atau tidak membahayakan. Jika ia memandangnya tidak membahayakan, maka tidak terjadi masalah. Tetapi, jika ia memandangnya sebagai peristiwa yang membahayakan, maka ia menyadari akan adanya masalah. Ia mengalami ketidakseimbangan jiwa karena terancam oleh kemungkinan hilangnya hal-hal yang selama ini memenuhi kebutuhannya dan menyenangkannya. Ia menyadari adanya ancaman terhadap keutuhannya sebagai pribadi.
Selanjutnya, orang itu lalu mengerahkan segala daya dan cara yang telah dimilikinya untuk menanggulangi ketidakseimbangan itu. Jika ia berhasil dan cara itu sehat, maka berlalulah masalah itu dan ia kembali dalam keadaan seimbang.
Tetapi, jika hal itu tidak berhasil, maka timbullah krisis itu, yaitu suatu perasaan tak berdaya dalam menanggulangi ancaman yang datang. Jika cara itu tidak sehat, untuk sementara krisis tidak terjadi, tetapi lama-kelamaan akan timbul juga. Bisa juga orang itu belum atau tidak berusaha menanggulangi ancaman dan langsung menyerah, dan krisis itu segera terjadi.
Dengan adanya krisis itu orang mengerahkan daya dan cara yang baru untuk menghadapinya. Jika cara yang baru itu sehat dan berhasil mengatasi krisis, maka pulihlah keseimbangannya. Krisis itu bukan saja berlalu, melainkan ia juga mengalami pertumbuhan sebab bertambahnya perbendaharaan cara dan daya yang dimilinya untuk menghadapi masalah dalam hidupnya. Melaui rasa tidak aman, gangguan, keterasingan, bahaya, kesepian, kebingungan, kepedihan hati, dan penderitaan, ia mengalami pertumbuhan pribadi.
Jika ia tidak dapat memecahkan masalah itu dengan segala daya dan upayanya, maka keadaan bisa menjadi makin parah. Orang itu mungkin menjadi sakit jiwa atau bunuh diri karena menurutnya itulah satu-satunya cara untuk lari dari krisis sampai tidak terkejar. Mungkin juga ia menggunakan cara yang tidak sehat untuk menghadapi krisis. Dengan demikian kelihatannya ia berhasil, tetapi sesungguhnya hanya meredakan situasi untuk sementara. Lambat atau cepat krisis akan muncul kembali dan terasa semakin parah. Jika pada akhirnya, situasinya masih juga tidak dapat diatasi, akibatnya ialah sakit jiwa atau bunuh diri.
Apakah perubahan hidup akan menjadi krisis atau tidak dan apakah krisis itu terselesaikan atau tidak ditentukan juga oleh kondisi orang yang mengalaminya. Menurut Wright, orang yang mudah kena krisis dan sulit menghadapi krisis memiliki delapan ciri. Yang pertama, mereka kewalahan terhadap krisis karena sebelum krisis memang emosinya lemah; daya psikologis tidak cukup kuat untuk menghadapi kesulitan-kesulitan hidup secara tegar sehingga mudah bingung, khawatir, takut, menyerah, dan putus asa. Yang kedua, mereka yang keadaan fisiknya lemah/ sakit-sakitan. Ini berkaitan dengan keadaan psikologis yang lemah. Fisik yang lemah dapat menimbulkan kelemahan psikologis dapat menyebabkan kelemahan fisik.
Ciri yang ketiga ialah, mereka yang menyangkal realitas atau kenyataan. Realitas atau kenyataan pemicu krisis itu ada yang tidak dapat diatasi dan semuanya pasti tidak dapat langsung diatasi. Jadi diperlukan penerimaan sementara atau bahkan selamanya agar tidak terjadi krisis. Makin sulit orang menerima kenyataan, makin rentan orang terhadap krisis. Dan yang keempat, mereka yang suka tergesa-gesa atau sebaliknya, mengulur-ulur waktu. Yang suka tergesa-gesa, berhubungan dengan ciri butir tiga. Ia tidak sabar untuk menerima kenyataan itu sementara dan akan mempermudah terjadinya krisis. Yang suka mengulur-ulur pun dapat mempermudah krisis, yaitu karena ia menunda-nunda menyelesaikan masalah atau mencari pertolongan. Berupaya sendiri menyelesaikan masalah memang baik, tetapi akan menjadi buruk bila ia tidak mampu dan terlambat mendapat bantuan.
Berikutnya ialah mereka yang bergumul dengan rasa bersalah secara berlebihan. Bila peristiwa pemicu krisis itu menimbulkan rasa bersalah yang berlebihan dan sulit dihilangkan, maka ia akan mudah mengalami krisis. Di sini penyebabnya adalah rasa bersalah itu. Ciri yang keenam, mereka yang suka menyalahkan orang lain. Ia kurang mampu bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya sehingga selalu mencari penyebabnya pada orang lain sehingga ia tidak bisa proaktif menanggulangi peristiwa-peristiwa pemicu krisis. Akibatnya kemampuan baru untuk menghadapi peristiwa itu terhambat munculnya dan krisis mudah dialami.
Dua ciri yang terakhir, ialah mereka yang cenderung terlalu bergantung pada orang lain atau terlalu mandiri. Mereka yang terlalu bergantung kepada orang lain, selalu ingin orang lain menghadapi masalahnya sehingga tidak akan punya kemampuan baru untuk menghadapi peristiwa pemicu krisis. Sebaliknya, orang yang terlalu mandiri tidak merasa perlu pertolongan sementara atau dukungan untuk menghadapi peristiwa pemicu krisis. Dengan kedua kecenderungan ini orang mudah terkena krisis. Dan akhirnya, mereka yang kurang percaya akan kedaulatan dan pemeliharaan Allah. Orang yang tidak percaya bahwa Allah selalu baik dan selalu punya maksud-maksud baik terhadapnya, setia, tidak pernah berkhianat akan mudah memiliki penafsiran negatif terhadap peristiwa-peristiwa buruk yang dialaminya. Padanya mudah timbul perasaan-perasaan krisis. Sebaliknya; orang yang berkepercayaan teguh bahwa Allah yang selalu baik itu berdaulat atas segala peristiwa dan memelihara anak-anakNya melewati segala peristiwa akan dapat menghadapi peristiwa buruk dalam kehidupannya.
Di samping itu ada pula faktor-faktor yang ikut mempengaruhi krisis. Yang pertama, adalah daya pemahaman. Orang yang cukup punya daya pemahaman akan dapat melihat akibat-akibat suatu peristiwa secara wajar, tidak akan menerima suatu peristiwa sebagai sesuatu yang nyata bila tidak benar-benar terjadi, dan mudah menerima kenyataan. Ia akan dapat memanfaatkan perbendaharaan kecakapannya dengan baik bahkan dapat lebih mudah memunculkan kecakapan baru dalam menghadapi peristiwa yang berpotensi memicu krisis.
Di samping daya pemahaman, yang tak kalah pentingnya ialah jaringan penopang, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan yang erat dengan dia, misalnya : keluarga, tetangga, teman segereja, rekan seprofesi, dan tentunya penolong profesional. Oran gyang punya jaringan penopang yang luas, akan tidak mudah mengalami krisis. Jaringan penopang itu akanmembantunya menghadapi peristiwa-peristiwa kehidupan sehingga itu tidak sempat memicu krisis.
Faktor ketiga yang ikut mempengaruhi krisis ialah mekanisme penanggulangan. Mekanisme penanggulangan yang realistis (tidak menyangkal adanya peristiwa dan tidak lari dari peristiwa) dan konstruktif (tidak menimbulkan akibat sampingan yang merusak) akan mencegah timbulnya krisis.
Di samping ketiga faktor di atas, ada juga pengaruh waktu, yaitu saat terjadinya peristiwa pemicu krisis. Bila peristiwa itu terjadi ketika keadaan orang itu sedang lemah, maka krisis dapat mudah terjadi. Waktu dapat juga berarti lamanya peristiwa. Peristiwa yang berkepanjangan dapat lebih menimbulkan krisis daripada peristiwa yang sesaat, walaupun tidak selalu demikian.
Dan faktor yang terakhir adalah kerentanan. Hal ini berhubungan dengan waktu terjadinya peristiwa sebagaimana dijelaskan di atas. Ketika orang dalam keadaan rentan, misalnya : ketika sakit, tidak siap, atau baru mengalami kesulitan, ia akan mudah mengalami krisis.
Berbicara mengenai perubahan hidup yang dialami sebagai krisis, krisis itu sendiri terjadi dalam beberapa tahap, dan pada setiap tahap orang yang memerlukan pertolongan tertentu. Menurut Wright, tahap-tahap itu pertama adalah : Tahap terkena. Pada tahap ini, orang menanggapi krisis dengan melarikan diri atau melawan, kehilangan kesadaran, dan kehilangan arah; ia mencari “mutiara” yang hilang dan mengenangnya. Pada tahap ini ia memerlukan penerimaan perasaan.
Tahap berikutnya adalah tahap pengunduran diri dan kebingungan. Pada tahap ini orang merasa jengkel, bercampur takut dan rasa bersalah, dan gusar. Ia merasa tidak pasti dan gamang, belum sepenuhnya terlepas dari apa yang hilang, menarik diri, dan dengan kebingungan mengamat-amati keadaan. Pertolongan yang diperlukan adalah pengarahan berhubungan dengan tugas.
Bila tahap kedua sudah berlalu, tahap berikutnya adalah tahap penyesuaian. Pada tahap ini orang mulai memiliki pemikiran positif dan berupaya menyelesaikan masalah, mencari “mutiara baru” dan mulai melakukan penjajagan dengan penuh perhatian. Pertolongan yang diperlukan adalah dukungan dan wawasan rohani.
Dan tahap yang terakhir adalah tahap pembangunan kembali dan pendamaian. Ada harapan, konsolidasi untuk pemecahan masalah, hubungan kembali, dan pengujian realitas. Pertolongan yang diperlukan adalah terobosan penguatan harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar