Rabu, 22 Februari 2012

TEORI BERLAJAR DALAM PAK

Bahan Ajar: TEORI BELAJAR
Dosen: Ev. Timotius Sukarman, S.PAK, M.Th.





Bagian 1
PENDAHULUAN
A. DASAR PEMIKIRAN
Salah satu unsur penting bagi guru PAK untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi pembelajaran yang direncanakan dan dikelolanya ialah pemahaman tentang konsep atau teori belajar. Jika guru PAK telah memahami bagaimana individu dapat belajar secara lebih efektif, maka ia dapat membantu peserta didiknya mengalami kegiatan belajar dengan hasil optimal. Kalau guru hanya menguasai bahan pengajarannya namun kurang mengerti cara efektif anak didik belajar, maka hasil kegiatan yang dikelolanya tentu bisa kurang memuaskan. Untuk tujuan itu, guru perlu terus belajar dari berbagai teori belajar, dan meninjau secara kritis dan konstruktif manfaatnya dalam pembelajaran PAK.
Oleh sebab itu pada kesempatan ini, kita akan belajar Teori-teori Belajar, Tokoh, Analisa dan aplikasinya dalam pembelajaran PAK, Teori Belajar Aktif, Ketrampilan proses dan Pembelajaran tuntas. Mengingat dalam teori belajar: mendengar cepat lupa, melihat ingat dan melakukan paham, maka supaya pembelajar menjadi efektif dan menyenangkan maka media alat peraga, metode dan strategi pembelajaran aktif menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.
B. HAKEKAT DAN ARTI BELAJAR
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku seseorang.Nana Syaodih Sukmadinata (2005) Sebagaian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar.
APAKAH BELAJAR?
 Moh Surya (1999) = Satu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan prilaku baik secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri melalui kegiatan belajar.
 Crow dan Crow: belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan pengetahuan dan sikap baru.
 Di Vesta dan Thompon (1970): Belajar adalah perubahan prilaku yang relatif menetap bagi hasil dari pengalaman.
 Gege dan Beliner: Belajar adalah suatu proses perubahan prilaku yang muncul karena pengalaman.
 B. Samuel Sidjabat: belajar pada dasarnya merupakan peristiwa kompleks sama halnya kompleksitas manusia itu sendiri. Seluruh aspek dalam diri individu relatif turut terlibat.
 AD Rooijakkers (1984) belajar merupakan proses, artinya kegiatan belajar senantiasa dinamis, dan mengarah kepada terjadinya perubahan dalam diri si pelajar.
Kesimpulan:
Kunci dari belajar adalah PERUBAHAN PRILAKU
Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara lain :
1. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional,sosial dan sebagainya
2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya.
4. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi yang lebih luas.
5. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.
6. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi membei dorongan yang mengerakan seluruh organisme.
7. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.
8. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.
Belajar sangat menguntungkan untuk kegiatan memecahakan masalah. Hal ini nampaknya juga relevan dengan konsep teori belajar yang diawali dengan suatu pengamatan. Belajar memecahkan masalah diperlukan suatu pengamatan secara cermat dan lengkap. Kemudian bagaiman seseorang itu dapat memecahknan masalah mrnurut J. Dewey ada 5 upaya pemecahannya yakni:
1. Realisasi adanya masalah. Jadi harus memehami apa masalahnya dan juga harus dapat merumuskan
2. Mengajukan hipotesa, sebagai suatu jalan yang mungkin memberi arah pemecahan masalah.
3. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumber-sumber lain.
4. Menilai dan mencobakan usah pembuktian hipotesa dengan keterangan-keterangan yang diperoleh.
5. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau membuat sesuatu dengan hasil pemecahan soal itu.

C. PERUBAHAN PRILAKU
Menurut Gagne (2003)
 Informasi Verbal
 Kecakapan Intelektual
 Strategi kognitif
 Sikap
 Kecakapan motorik
D. HASIL BELAJAR AKAN TAMPAK
Menurut Moh Surya: Hasil Belajar Nampak pada;
1. Kebiasaan
2. Keterampilan
3. Pengamatan
4. Berfikir asosiatif
5. Berfikir rasional dan kritis
6. Sikap yakin/menetap
7. Indibisi (Menghindari hal yang mbazh)
8. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu)
9. Prilaku efektif
E. CIRI-CIRI BELAJAR (Perubahan)
1. Perubahan yang disadari dan disengaja
2. Perubahan yang berkesinambungan
3. Perubahan yang Fungsional
4. Perubahan yang bersifat positif
5. Perubahan yang bersifat aktif
6. Perubahan yang bersifat permanen
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah
8. Perubahan secara keseluruhan
F. PROSES DALAM BELAJAR
1. Motivasi
2. Konsentrasi
3. Mengolah
4. Menyimpan
5. Menggali 1
6. Menggali 2
7. Prestasi
8. Umpan Balik

G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR

H. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BALAJAR EFEKTIF
1. Motivasi
2. Kualitas dan kuantitas perhatian
3. Kemampuan (daya menerima dan mengingat)
4. Kemampuan menerapkan
5. Kemampuan memetik dan mengajukan prinsip




Bagian 2
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
A. Arti dan Hakekat Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
B. Tokoh-tokoh Teori Behavioristik
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

1. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

2. Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur

3. Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
4. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
5. Teori Belajar Menurut Skinner (1904-1990)
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. . Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.

C. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

D. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.















Bagian 3
TEORI BELAJAR HUMANISTIK

A. Pendahulun
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia\proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
1. Proses pemerolehan informasi baru
2. Personalia informasi ini pada individu.
B. Tokoh-tokoh Teori Behavioristik Humanistik
Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.
1. Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan s ebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
2. Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
1. suatu usaha yang positif untuk berkembang
2. kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
3. Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan siswa
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan
7. kebutuhan segera dari siswa)
8. Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
C. Implikasi Teori Belajar Humanistik
1. Guru sebagai Fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
C. Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.
Sumber:
1. Psikologi Belajar: Dr. Mulyati, M.Pd
2. Psikologi Belajar: Drs. H. Abu Ahmadi dan Drs. Widodo Supriyono
3. Psikologi Pendidikan: Sugihartono,dkk
4. Psikologi Pendidikan: Rochman Natawidjaya dan Moein























Bagian 4
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

A. Teori Perkembangan Piaget
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7)
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Psikologi Gestalt bermula pada lapangan pengamatan ( persepsi ) dan mencapai sukses yang terbesar juga dalam lapangan ini. Demonstrasinya mengenai peranan latar belakang dan organisasinya terhadap proses-proses yang diamati secara fenomenal demikian meyakinkan sehingga boleh dikatakan tidak dapat di bantah.
Ketika para ahli Psikologi Gestalt beralih dari masalah pengamatan ke masalah belajar, maka hasil-hasil yang telah kuat / sukses dalam penelitian mengenai pengamatan itu dibawanya dalam studi mengenai belajar . Karena asumsi bahwa hukum –hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada hal belajar, maka untuk memahami proses belajar orang perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses pengamatan itu.
Pada pengamatan itu menekankan perhatian pada bentuk yang terorganisasi (organized form) dan pola persepsi manusia . Pemahaman dan persepsi tentang hubungan-hubungan dalam kebulatan (entities) adalah sangat esensial dalam belajar. Psikologi Gestalt ini terkenal juga sebagai teori medan (field) atau lazim disebut cognitive field theory. Kelompok pemikiran ini sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa pengalaman manusia memiliki kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan lebuh dari pada bagian- bagiannya.
Teori medan ini mengibaratkan pengalaman manusia sebagai lagu atau melodi yang lebih daripada kumpulan not, demikian pila pengalaman manusia tidak dapat dipersepsi sebagai sesuatu yang terisolasi dari lingkungannya. Dengan kata lain berbeda dengan teori asosiasi maka toeri medan ini melihat makna dari suatu fenomena yang relatif terhadap lingkungannya. Sesuatu dipersepsi sebagai pendek jika objek lain lebih panjang. Warna abu-abu akan terlihat lebih cerah pada bidang berlaatr belakang hitam pekat. Warna abu-abu akan terliaht biru pada latar berwarna kuning.
Belajar melibatkanproses mengorganisasikan pengalaman-pengalaman kedalam pola-pola yang sistematis dan bermakna. Belajar bukan merupakan penjumalahan (aditif), sebaliknya belajar mulai dengan mempersepsi keseluruhan, lambat laun terjadi proses diferensiasi, yakni menangkapbagian bagian dan detail suatu objek pengalaman. Dengan memahami bagian / detail, maka persepsi awalakan keseluruhan objek yang semula masih agak kabur menjadi semakin jelas. Belajar menurut paham ini merupakan bagian dari masalah yang lebih besar yakni mengorganisasikan persepsi kedalam suatu struktur yang lebih kompleks yang makin menambah pemahaman akan medan. Medan diartikan sebagaikeseluruhan dunia yang bersifat psikologis. Seseorang meraksi terhadap lingkungan seauai dengan persepsinya terhadap lingkungan pada saat tersebut. Manusia mempersepsi lingkungan secara selektif, tidak semua objek masuk kedalam fokus persepsi individu, sebagian berfungsi hanya sebagai latar.
Tekanan ke-2 pada psikologi medan ini adalah sifat bertujuandari prilaku manusia. Individu menetaokan tujuan berdasarkan tilikan (insight) terhadap situasi yang dihadapinya. Prilakunya akan dinilai cerdas atau dungu tergantung kepada memdai atau tidaknya pemahamanya akan situasi

Dalam hukum-hukum belajar Gestalt ini ada satu hukum pokok , yaitu hukum Pragnaz, dan empat hukum tambahan (subsider) yang tunduk kepada hukum yang pokok itu,yaitu hukum –hukum keterdekatan , ketertutupan, kesamaan , dan kontinuitas.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
Pengetahuan berjenjang tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:
Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.
Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut.
Table 2
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.

Konstruktivistik Behavioristik
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan. Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.
Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Si belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh si belajar.
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistic. Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.

Table 3
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang
Penataan Lingkungan Belajar



Konstruktivistik Behavioristik
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan, Keteraturan, kepastian, ketertiban
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar. Si belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.
Control belajar dipegang oleh si belajar. Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si belajar.

Table 4 Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik Behavioristik
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn) Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.

Tabe 5 pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik Behavioristik
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.

Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.

Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.

Pembelajaran menekankan pada proses. Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.

Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.


Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.

Pembelajaran menekankan pada hasil

Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi

Konstruktivistik Behavioristik
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.

Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar

Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam kelompok. Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’



Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar telah menyelesaikan tugas belajar.

Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi individual.
















Bagian 5
TEORI KOGNITIF
1. Teori Belajar Piaget
Piaget merupakan salah satu pioner konstruktivis, ia berpendapat bahwa anak membangun sendiri pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai pemberi informasi.
Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu 1) memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman – pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh perhatian terhadap Pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud, 2) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi ( ready made knowledge ) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan, 3) memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu – individu ke dalam bentuk kelompok – kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal, 4) mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan – gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat disimulasi.

2. Teori Belajar Vygostky
Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing – masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas – tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap – tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi – strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing – masing zone of proximal development mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah.
A. Pengertian Perilaku

Perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut. Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.

Perbedaan-perbedaan Perilaku Individu
Mengapa manusia itu berbeda dalam bertindak diantaranya adalah:
1. Manusia berbeda karena berbeda kemampuannya.
Setiap manusia memiliki perbedaan dalam berperilaku karena proses penyerapan informasi yang berbeda dari setiap individu tersebut yang kemudian mempangaruhi perilaku seseorang dalam bertindak.

2. Manusia berbeda perilakunya karena adanya perbedaan kebutuhan.
Hal ini merupakan bagian dari teori motivasi yang ditemukan oleh para ilmuwan psikologi seperti, Maslow, Mcleland, McGregor, dll. Kebutuhan manusia menjadi motif secara intrinsik individu tersebut dalam berperilaku.

3. Manusia berbeda karena mempunyai lingkungan yang berbeda dalam mempengaruhinya.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh pada manusia, suatu keputusan yang dibuat oleh individu dapat dipengaruhi dengan apa yang terjadi diluar dari dirinya dengan kata lain motivasi eksternal berperan disini. Lingkungan membentuk manusia menjadi lebih baik atau menjadi jahat, ramah, atau sombong.

4. Faktor Like or Dislike with Something
Percaya atau tidak faktor ini juga mempengaruhi seseorang dalam berperilaku, apabila seseorang tidak suka pada atasannya dalam memimpin, maka apapun yang dikatakan atasan hanya merupakan masukan tidak langsung dilakukan.

Variabel – Variabel yang Mempengaruhi Perilaku Individu

Kelompok variable individu terdiri dari variable kemampuan dan keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis.
Menurut Gibson ( 1987 ) : Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan factor utama yang mempegaruhi perilaku kerja dan kinerja individu . Sedangkan variabel demografis mempunyai pegaruh yang tidak langsung .

Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi , sikap, kepribadian , belajar , dan motivasi.

Variabel ini menurut Gibson ( 1987 ) : banyak di pengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis.

Teori – Teori yang Mempengaruhi Perilaku
1. Teori Kepemimpinan ( Leadership )
Kreiner menyatakan bahwa leadership adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sukarela berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi.Salah satu contoh teori kepemimpinan :
Teori LPC dari Fielder
Fielder mengembangkan suatu ukuran orientasi pemimpin yang disebut rekan sekerja yang kurang disukai dan rekan kerja yang disukai ( LPC ).
• Pemimpin yang Memberi Nilai LPC Rendah
o Dianggap terutama berorientasi pada pekerjaan
o Pemimpin yang Memberi Nilai LPC Tinggi
 Dianggap terutama berorintasi terhadap hubungan.
Teori Kemungkinannya
• Pemimpin mempunyai hubungan yang baik dengan anggota – anggota kelompok, sebagaimana dapat diukur dari tingkat penerimaan mereka terhadap pemimpin itu.
• Kekuasaan serta kedudukan pemimpin itu sedemikian tingginya sehingga bermenangu untuk memberi imbalan ( Reward ) atau menghukum anggotanya.
• Tugasnya memiliki struktur yang baik sehingga ada tujuan yang jelas, beberapa cara untuk menyelesaikan tugas dan kritera yang jelas mengenai keberhasilan.
Teori Behaviorisme
Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau memperoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.



Skinner (1904-1990)
Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Pda teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. . Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.





Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Manusia
Faktor Personal :
1. Faktor Biologis
Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia.
1. Faktor Sosiopsikologis
Kita dapat mengkalsifikasikannya ke dalam tiga komponen.
• Komponen Afektif
merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya.
• Komponen Kognitif
Aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.
• Komponen Konatif
Aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.

Faktor Situsional
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor situasional. Menurut pendekatan ini, perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan/situasi. Faktor-faktor situasional ini berupa:
• faktor ekologis, misal kondisi alam atau iklim
• faktor rancangan dan arsitektural, misal penataan ruang
• faktor temporal, misal keadaan emosi
• suasana perilaku, misal cara berpakaian dan cara berbicara
• teknologi
o faktor sosial, mencakup sistem peran, struktur sosial dan karakteristik sosial individu
o lingkungan psikososial yaitu persepsi seseorang terhadap lingkungannya
o stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa manusia itu unik dan berbeda, dari perbedaan itu pula yang menyebabkan adanya interaksi social diantara manusia.
Teori – teori diatas juga menunjukkan pada kita bahwa perilaku itu didorong dan diarahkan ketujuan. Mereka juga menunjukkan pada kita bahwa perilaku yang ingin mencapai tujuan cenderung untuk menetap.
Terkadang manusia merasa nyaman dengan perbedan tetapi ada juga yang tidak merasa nyaman dalam perbedaan yang ada dikarenakan lingkungan tempat manusia tersebut.















Bagian 6
BELAJAR TUNTAS

A. Arti Belajar Tuntas (Matery Learning)
Konsep belajar tuntas adalah proses belajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara tuntas, artinya cara menguasai materi secara penuh. Belajar tuntas ini merupakan strategi pembelajaran yang diindividualisasikan dengan menggunakan pendekatan kelompok. Dengan sistem belajar tuntas diharapkan proses belajar mengajar dapat dilaksanakan agar tujuan instruksional yang akan dicapai dapat diperoleh secara optimal sehingga proses belajar lebih efektif dan efisien. Tingkat ketuntasan bermacam-macam dan merupakan persyaratan yang harus dicapai siswa. Persyaratan penguasaan bahan tersebut berkisar antara 75% sampai dengan 90%. Bloom (1968) mengidentifikasi adanya lima variabel yang sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan untuk memahami pelajaran, ketekunan, waktu, dan kecerdasan. Menurut Bloom (1968) didasarkan atas hasil kajiiannya menunjukkan bahwa peserta didik yang memiliki kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yang diberikannya, bahkan ia dapat terlibat belajar walaupun untuk bahan ajar yang sangat komplek, sedangkan peserta didik yang memiliki kecerdasan yang rendah hanya dapat mempelajari bahan ajar yang sederhana sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menjelaskan bahwa jika kondisi peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal dan mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah waktu belajar yang sama maka pengukuran hasil belajar akan menunjukan distribusi normal pula. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah waktu belajar merupakan persyaratan bagi peserta didik untuk dapat memperoleh hasil belajar secara tuntas.
Landasan konsep dan teori belajar tuntas ( Mastery Learning Theory ) adalah pandangan tentang kemampuan siswa yang dikemukakan oleh John B. Carroll pada tahun 1963 berdasarkan penemuannya yaitu “Model of School Learning” yang kemudian dirubah oleh Benyamin S. Bloom menjadi model belajar yang lebih operasional. Selanjutnya oleh James H. Block model tersebut lebih disempurnakan lagi. Sedangkan menurut Carroll bakat atau pembawaan bukanlah kecerdasan alamiah, melainkan jumlah waktu yang diperlukan oleh siswa untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu. Benyamin melaksanakan konsep belajar tuntas itu ke dalam kelas melalui proses belajar mengajar pelaksanaaannya sebagai berikut :
1. Bagi satuan pelajaran disediakan waktu belajar yang tetap dan pasti
2. Tingkat penguasaan materi dirumuskan sebagai tingkat penguasaan tujuan pendidikan yang essensial.
Untuk lebih menggalakkan konsep belajar tuntas James H. Block mencoba mengurangi waktu yang diperlukan untuk mempelajari suatu materi pelajaran di dalam waktu yang tersedia, yaitu dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin kualitas pengajaran.
Jadi pelaksanaan oleh James H Block mengandung arti bahwa :
1. Waktu yang sebenarnya digunakan diusakan diperpanjang semaksimal mungkin.
2. Waktu yang tersedia diperpendek sampai semaksimal mungkin dengan cara memberikan pelayanan yang optimal dan tepat

B. Ciri Belajar Tuntas
a. Siswa dapat belajar dengan baik dalam kondisi pengajaran yang tepat sesuai dengan harapan pengajar.
b. Bakat seorang siswa dalam bidang pengajaran dapat diramalkan, baik tingkatannya maupun waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari bahan tersebut. Bakat berfungsi sebagai indeks tingkatan belajar siswa dan sebagai suatu ukuran satuan waktu
c. Tingkat hasil belajar bergantung pada waktu yang digunakan secara nyata oleh siswa untuk mempelajari sesuatu dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya.
d. Model Carroll, Tingkat belajar sama dengan ketentuan, kesempatan belajar bakat, kualitas pengajaran, dan kemampuan memahami pelajaran.
e. Setiap siswa memperoleh kesempatan belajar yang berdiferensiasi dan kualitas pengajaran yang berdiferensiaisi pula.
C. Prinsip Belajar Tuntas
Para pengembang konseb belajar tuntas mendasarkan pengembangan pengajarannya pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Sebagian besar siswa dalam situasi dan kondisi belajar yang normal dapat menguasai sebagian terbesar bahan yang diajarkan. Tugas guru untuk merancang pengajarannya sedemikian rupa sehingga sebagian besar siswa dapat menguasai hampir seluruh bahan ajaran
b. Guru menyusun strategi pengajaran tuntan mulai dengan merumuskan tujuan-tujuan khusus yang hendak dikuasai oleh siswa.
c. Sesuai dengan tujuan-tujuan khusus tersebut guru merinci bahan ajar menjadi satuan-satuan bahan ajaran yang kecil yang medukung pencapaian sekelompok tujuan tersebut.
d. Selain disediakan bahan ajaran untuk kegiatan belajar utama, juga disusun bahan ajaran untuk kegiatan perbaikan dan pengayaan. Konsep belajar tuntas sangat menekankan pentingnya peranan umpan balik.
e. Penilaian hasil belajar tidak menggunakan acuan norma, tetapi menggunakan acuan patokan.
f. Konsep belajar tuntas juga memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individual. Prinsip ini direalisasikan dengan memberikan keleluasaan waktu, yaitu siswa yang pandai atau cepat belajar bisa maju lebih dahulu pada satuan pelajaran berikutnya, sedang siswa yang lambat dapat menggunakan waktu lebih banyak atau lama sampai menguasai secara tuntas bahan yang diberikan.
D. Pelakansanaan Belajar Tuntas
Dalam pelaksanaan konsep belajar tuntas apabila kelas itu belum biasa mengguanaakan strategi belajara tuntas, maka guru terlebih dahulu memperkenalkan prosedur belajar tuntas kepada siswa dengan maksud memberikan motivasi, menumbuhkan kepercayaan diri, dan memberikan petunjuk awal.
Pelaksanaan belajar tuntas terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut:
Kegiatan orientasi Kegiatan ini megorientasikan setiap siswa terhadap belajar tunta yang berkenaan terhadpa orientasi tentang apa yang akan dipelajari oleh siswa dalam jangka waktu satu semester dan cara belajar yang harus dilakukan oleh siswa. Guru menjelaskan keseluruhan bahan yang telah dirancang, lalu melanjutkan dengan pra test. Kegiatan belajar mengajar? Guru mengenalkan TIK pada satuan pelajaran yang akan dipelajari dengan cara: Memperkenalkan tabel spesifikasi tentang arati dan car mempergunakannya untuk kepentingan belajar. Mengajukan pertanyaan yang menonjolkan isi bahan yang disajikan. Mengajukan topik umum/konsep umum yang akan dipelajari.
Penyajian rencana kegiatan belajar berdasarkan standar kelompok. Tujuannya adalah menjelaskan apa yang akan dilakuakan siswa dalam kegoiatan kelompok.
penyajian pelajaran dalam situasi kelompok berdasarkan satuan pelajaran. Guru menyampaikan pelajaran sambil memberi peringatan secara periodik untuk menarik perhatian siswa.? Mengidentifikasikan kemajuan belajar siswa yang telah memuaskan dan yang belum. Tes dilakukan setelah satu satuan pelajaran selesai diajarkan. Menetapkan siswa yang hasil pelajarannya telah memuaskan. Mereka diminta untuk membantu temen-temannya sebagai tutor atau diberi tugas pengayaan bahan baginya sendiri.Memberikan kegiatan kolektif kepada siswa ang hasil belajarnya belum memuaskan. Menetapkan siswa yang hasil belajaranya memuaskan.
Penentuan tingkat penguasaan bahanSetelah satuan pengajaran selesai diberikan, diadakan tes sumatif, dan diperiksa oleh temannya sendiri berdasarkan petunjuk guru. Mereka sendiri yang menentukan tingkat penguasaan bahan berdasarkan kriteria penguasaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Memberikan atau melaporkan tingkat penguasaan setiap siswa yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pengayaan mereka, bahan yang sudah dikuasai ditandai dengan M (mastery) dan yang belum dikuasai ditandai dengan NM (non mastery)? Pengecekan keefektifan seluruh programKeefektifan strategi belajar tuntas ditandai dengan hasil yang dicapai siswa, yakni persen siswa yang mampu tingkat mastery (standar A). Ada dua cara untuk menetukannya yang dapat dilakukan oleh guru:
• Membandingkan hasil yag dicapaioleh kelas yang menggunakan strategi belajar tuntas dengan kelas yang menggunakan strategi lain.
• Membuat hipotesis tentang hasil belajar, lalu dibuktikan berdasar hasil belajar kelas (membandingkan tes awal dan tes akhir).
E. Keunggulan dan Kelemahan Belajar Tuntas
Keunggulan belajar tuntas
Strategi belajar tuntas memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut:
1. Memungkinkan siswa belajar lebih aktif, karena memberikan kesempatan mengembangakn diri, dan memecahkan masalah sendiri dengan menemukan dan bekerja sendiri.
2. Sesuai dengan psikologi belajra modern yang berpegang pada prinsip perbedaan individual dan belajar kelompok.
3. Berorientasi pada peningkatan produktivitas hasil belajar, yakni menguasai bahan ajar secara tuntas.
4. Guru dan siswa bekerjasama secara partisipatif dan persuasif.
5. Penilaian yang dilakukan mengandung nilai obyektifitas yang tinggi karena penilaian dilakukan oleh guru, teman dan diri sendiri.
6. Strategi ini tidak mengenal kegagalan siswa, karena siswa yang kurang mampu dibantu oleh guru dan temannya.
7. Berdasarkan perencanaan yang sistematik.
8. Menyediakan waktu berdasarkan kebutuhan masing-masing iindividu.
9. Berusaha menutupi kelemahan-kelemahan strategi belajr yang lain
10. Mengaktifkan para guru sebagai regu yang harus bekerjasama secara efektif sehingga proses belajar mengajar dapat dilaksanakan secara optimal.
Kelemahan belajar tuntas:
1. Sulit dalam pelaksanaan karena melibatkan berbagai kegiatan.
2. Guru-guru masih kesulitan membuat perencanaan karena dibuat dalam satu semester.
3. Guru-guru yang sudah terlanjur menggunakan teknik lama sulit beradaptasi
4. Memerlukan berbagai fasilitas, dan dana yang cukup besar.
5. Menuntut para guru untuk lebih menguasai materi lebih luas lagi dari standar yang ditetapkan.
6. Diberlakukannya sistem ujian (EBTA atau EBTANAS) yang menuntut penyelenggaraan program bidang studi pada waktu yang telah ditetapkan dan usaha persiapan siswa untuk menempuh ujian.

F. Variabel Mastery Learning

Bakat siswa (aptitude) : Hasil penelitian menunjukan bahwa ada korelasi yang cukup tinggi antara bakat dengan hasil pelajaran
Ketekunan belajar (perseverance) : Ketekunan erat kaitannya dengan dorongan yang timbul dalam diri siswa untuk belajar dan mengolah informasi secara efektif dan efisien serta pengembangan minat dan sikap yang diwujudkan dalam setiap langkah instruksional.
Kualitas pembelajaran (quality of instruction) : Kualitas pembelajaran merupakan keadaan yang mendorong siswa untuk aktif belajar belajar dan mempertahankan kondisinya agar tetap dalam keadaan siap menerima pelajaran.Kualitas pembelajaran ditentukan oleh kualitas penyajian, penjelasan, dan pemanfaatan media pembelajran. Dan unsur-unsur tugas belajar. Kesempatan waktu yang tersedia (time allowed for learning) : Penyediaan waktu yang cukup untuk belajar dalam rangka mencapai tujuan instruksional yang ditetapkan dalam suatu mata pelajaran, bidang studi atu pokok bahasan yang berbeda-beda sesuai dengan bobot bahan pelajaran dan tujuan yang ditetapkan.
G. Prinsip-prinsip Utama Belajar Tuntas
1. Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis

2. Evaluasi yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback,
3. Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,
4. Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan
belajar lebih awal. (Gentile & Lalley: 2003)









Bagian 7
PEMBELAJARAN PROSES

A. PENDAHULUAN
Kurikulum yang digunakan sekarang ini yang berorientasi pada materi dan tujuan nampaknya sudah tidak sesuai lagi. Perlu ditambahkan suatu pemikiran yang berbeda, yaitu bagaimana memproses hasil belajar berupa konsep dan fakta yang diperoleh oleh pembelajar untuk mengembangkan dirinya, untuk menemukan sesuatu yang baru. Dengan fakta dan konsep yang yang tidak banyak, tapi dipahami betul, dapat diproses untuk menguasai dan/atau menemukan fakta dan konsep yang lebih banyak. Namun pemberian konsep dan fakta yang terlalu banyak justru dapat menghambat kreatifitas siswa..
Dalam suatu proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik karena proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar dientukan oleh peran dan kompetensi guru. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian. Dengan penlaian, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode mengajar. Tujuan lain dari penilaian diantaranya adalah untuk mengetahui kedudukan siswa, di dalam kelas ataupun kelompoknya. Dengan penilaian, guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang siswa termasuk siswa yang pandai, sedang kurang, atau cukup baik di kelasnya jika dibandingkan dengan teman-temannya. Penelaahan pencapaian tujuan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dapat diketahui, apakah proses belajar mengajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan, atau sebaliknya.
Jadi, jelas bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar. Salah satu penilaian yang dapat dilakukan oleh guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar adalah penilaian keterampilan proses atau pendekatan ketrampilan proses. Dalam fungsinya sebagai penilaian hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik (feedback) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan terus menerus ditingakatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.

B. PEMAHAMAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES
Keterampilan proses adalah keterampilan yang diperoleh dari latihan kemampuan-kemampuan mental, fisik,dan social yang mendasar sebagai penggerak kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan-kemampuan mendasar yang telah dikembangkan dan telah terlatih lama-kelamaan akan menjadi suatu keterampilan, sedangkan pendekatan keterampilan proses adalah cara memandang anak didik sebagai manusia seutuhnya. Cara memandang ini dijabarkan dalam kegiatan belajar mengajar memperhatikan pengembangan pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan. Ketiga unsure itu menyatu dalam satu individu dan terampil dalam bentuk kreatifitas.
Pendekatan pembelajaran proses adalah pendekatan pembelajaranyang menekankan pada kegiatan ketrampilan proses yang digunakan untukmengungkap dan menemukan fakta dan konsep serta menumbuhkan sikap dan nilaiyang dilakukan oleh murid dalam proses pembelajaran.
Jadi, pendekatan keterampilan proses menekankan pada bagaimana siswa belajar, bagaimana mengelola perolehannya, sehingga dipahami dan dapat dipakai sebagai bekal untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya di masyarakat.
C. TUJUAN KETRAMPILAN PROSES
Tujuan pembelajaran proses adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa, sehingga siswa bukan hanya mampu dan terampil dalam bidang psikomotorik, melainkan juga bukan sekedar ahli menghafal. Berdasarkan penjelasan di atas, pada keterampilan proses, guru tidak mengharapkan setiap siswa akan menjadi ilmuwan, melainkan dapat mengemukakan ide bahwa memahami sains sebagian bergantung pada kemampuan memandang dan bergaul dengan alam menurut cara-cara seperti yang diperbuat oleh ilmuwan.
Selain itu, melalui proses belajar mengajar dengan pendekatan keterampilan proses dilakukan dengan keyakinan bahwa sains adalah alat yang potensial untuk membantu mengembangkan kepribadian siswa, di mana kepribadian siswa yang berkembang ini merupakan prasyarat untuk melanjutkan ke jalur profesi apapun yang diminatinya.
D. RASIONAL KETRRAMPILAN PROSES
Pendekatan pembelajaran proses karena dengan pendekatan pembelajaran proses diharapkan siswa dapat mengalami sendiri tentang materi yang disampaikan dengan berinteraksi langsung dengan obyek nyata atau sebenarnya sehingga siswa dapat membuat kesimpulan sendiri. Conny Setiawan mengemukakan empat alasan mengapa pendekatan keterampilan proses harus diwujudkan dalam proses belajar dan pembelajaran, yaitu:
1. Dengan kemajuan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, guru tidak mungkin lagi mengajarkan semua fakta dan konsep dari sekian mata pelajaran, karena waktunya tidak akan cukup.
2. Siswa-siswa, khususnya dalam usia perkembangan anak, secara psikologis lebih mudah memahami konsep,apalagi yang sulit, bila disertai dengan contoh-contoh kongkrit, dialami sendiri, sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. J. Piaget mengatakan bahwa intisari pengetahuan adalah kegiatan atau aktivitas, baik fisik maupun mental.
3. Ilmu pengetahuan boleh dikatakan bersifat relative, artinya, suatu kebenaran teori pada suatu saat berikutnya bukan kebenaran lagi, tidak sesuai lagi dengan situasi. Suatu teori bias gugur bila ditemukan teori-teori yang lebih baru dan lebih jitu. Jadi, suatu teori masih dapat dipertanyakan dan diperbaiki. Oleh karena I tu, perlu orang-orang yang kritis, mempunyai sikap ilmiah. Wajar kiranya kalau anak-anak atau siswa sejak dini sudah ditanamkan dalam dirinya sikap ilmiah dan sikap kritis ini. Dengan menggunakan keterampilan proses, maksud tersebut untuk saat ini pantas diterima.
4. Proses belajar dan pembelajaran bertujuan membentuk manusia yang utuh artinya cerdas, terampil dan memiliki sikap dan nilai yang diharapkan. Jadi, pengembangan pengetahuan dan sikap harus menyatu. Dengan keterampilan memproses ilmu, diharapkan berlanjut kepemilikan sikap dan mental.
E. KEMAMPUAN DASAR DALAM KETRAMPILAN PROSES
Ilmuwan-ilmuwan yang menemukan suatu yang baru, menurut pengamatan, tidak menguasai semua konsep dan fakta dalam suatu bidang ilmu, namun mereka mempunyai kemampuan dasar untuk mengembangkan konsep dan fakta yang terbatas itu, sehingga mereka mampu menciptakan dan menemukan sesuatu yang baru.
Kemampuan-kemampuan dasar yang dimaksud antara lain mengobservasi, menghitung, mengukur, mengklasifikasi, mencari hubungan ruang waktu, membuat hipotesis, merencanakan penelitian atau eksperimen, mengendalikan verbal, menafsirkan data, membuat kesimpulan sementara, meramalkan, menerapkan, mengkomunikasikan(Conny Setiawan, 1987:17-18).
Senada dengan kemampuan dasar yang diajukan di atas, Sriyono membuat suatu daftar keterampilan proses yang diikuti oleh indicator-indikator.


Ketrampilan Proses INDIKATOR
1. Mengajukan pertanyaan Bertanya mengapa, apa, dan bagaimana Bertanya untuk meminta penjelasan
2. Bertanya yang berlatar belakang hipotesis
3. Mengamati Menemukan fakta yang relevan dan memadaI
4. Menggunakan sebanyak mungkin indrA
5. Menafsirkan/pengamatan
6. Mencatat setiap pengamatan secara terpisah
7. Menghubungkan pengamatan-pengamatan yang terpisah
8. Menemukan suatu pola dalam satu seri pengamatan
9. Meramalkan dengan menggunakan pola-pola (hubungan-hubungan) mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamat
10. Mengatur alat/bahan.
11. Menggunakan alat dan bahan untuk memperoleh pengalaman langsung.
12. Merencanakan penelitian 1 Menentukan alat, bahan, dan sumber yang akan dipakai untuk digunakan dalam penelitian.
13. Menentukan variable-variabel
14. Menentukan variable yang harus dibuat tetap sama, dan mana yang berubah
15. Menentukan apa yang harus diamati, diukur, dan ditulis.
16. Menentukan cara dan langkah-langkah kerja
17. Menentukan bagaimana mengolah pengamatan
18. Menerapkan Konsep,
19. Menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari dalamsuatu situasi baru
20. Menerapkan konsep pada pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi
21. Berkomunakasi
22. Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis
23. Menjelaskan hasil penelitian
24. Mendiskusikan hasil penelitian
25. Menggambarkan data dengan grafik, table, atau diagram
Berikut ini akan diuraikan mengenai pengertian dari setiap kemampuan atau keterampilan beserta kata kerja operasional dari masing-masing kemampuan atau keterampilan tersebut.
1. Mengamati
Yaitu keterampilan mengumpulkan data atau informasi melalui penerapan dengan panca indera. Kata kerja operasional : melihat, mendengar, merasa, meraba, membau, mencicipi, mengecap, menyimak, mengukur, membaca
2. Menggolongkan ( mengklasifikasikan )
Yaitu keterampilan menggolongkan benda, kenyataan, konsep, nilai, atau kepentingan tertentu. Untuk membuat penggolongan, perlu ditinjau persamaan dan perbedaan antara benda, kenyataan, atau konsep yang akan digolongkn sebagai dasar penggolongan.
Kata kerja operasional : mencari persamaan, menyamakan, membedakan, membandingkan, mengontraskan, mencari dasar penggolongan.
3. Menafsirkan ( menginterpretasikan )
Yaitu keterampilan proses menafsiran sesuatu berupa benda, kenyataan, peristiwa, konsep, atau informasi yang telah dikumpulkan melalui pengamatan, perhitungan, penelitian, atau eksperimen yang telah kita lakukan.
Kata kerja operasional : menafsir, memberi arti, mengartikan, memposisikan, mencari hubungan ruang waktu, menentukan pola, menarik kesimpulan, menggeneralisasikan.
4. Meramalkan ( memprediksi )
Yaitu mengantisipasi atau menyimpulkan suatu hal yang akan terjadi pada waktu yang akan datang berdasarkan perkiraan atas kecenderungan atau pola tertentu atau hubungan antar data atau informasi yang ada.
Kata kerja operasional : mengantisipasi berdasarkan kecenderungan, pola atau hubungan antar data atau informasi.
5. Menerapkan
Yaitu menggunakan hasil belajar berupa informasi, kesimpulan, konsep, hokum, teori, keterampilan. Melalui penerapan, hasil belajar dapat dimanfaatkan, diperkuat, dikembangkan, atau dihayati.
Kata kerja operasional : menggunakan ( informasi, kesimpulan, konsep, hokum, teori, sikap, nilai, atau keterampilan dalam situasi ), menghitung, menentukan variable, mengendalikan variable, menghubungkan konsep, merumuskan konsep, pertanyaan penelitian, menyusun hipotesis, membuat modul.
6. Merencanakan penelitian
Yaitu keterampilan yang amat penting karena menentuken berhasil tidaknya penelitian. Keterampilan ini perlu dilatih, karena selama ini pada umumnya kurang diperhatikan dan kurang terbina. Pada tahap ini ditentukan masalah atau objek yang akan diteliti, tujuan, dan ruang lingkup penelitian, sumber dat atau informasi, cara analisis, alat dan bahan atau sumber kepustakaan yang diperlukan. Jumlah orang yang terlibat, langkah-langkah pengumpulan dan pengolahan data atau informasi, serta tata cara melakukan penelitian.
Kata kerja operasional : menentukan massalah atau objek yang akan diteliti, menentukan tujuan penelitian, menentukan ruang lingkup penelitian, menentukan sumber data, menentukan alat, bahan, dan sumber kepustakaan, menentukan cara penelitian.
7. Mengkomunikasikan
Yaitu menyampaikan perolehan atau hasil belajar kepada orang lain dalam bentuk tulisan, gambar, gerak, tindakan, atau penampilan.
Kata kerja operasonal : berdiskusi, mendeklamasikan, mendramakan, bertanya, merenungkan, meragakan, mengungkapkan, melaporkan ( dalam bentuk lisan, tulisan, gerak atau penampilan ).

Keterampilan proses memerlukan latihan atau penggunaan secara terus menerus agar dapat dimiliki oleh siswa. Perkembangannya berlangsung sedikit demi sedikit dan memerlukan waktu lama. Oleh karana itu, penelitian kemampuan keterampilan proses tidak perlu dilakukan pada tiap pembelajaran, tetapi bias sekali atau dua kali dalam satu semester untuk melihat perkembangannya.

F. PENILAIN KETRAMPILAN PROSES
Penilaian merupakan suatu usaha untuk memperoleh informasi tentang perolehan hasil belajar yang telah dilakukan oleh siswa secara keseluruhan, baik dalam bidang pengetahuan, konsep, sikap, nilai maupun keterampilan proses. Hal ini dapat digunakan oleh guru sebagai tolak ukur maupun pengambilan keputusan yang sangat diperlukan dalam menentukan strategi belajar. Untuk maksud tersebut, guru perlu mengadakan penilaian, baik terhadap proses maupun terhadap hasil belajar siswa. Penilaian proses ( Usman, 1999 ) dapat diartikan penilaian terhadap proses belajar yang sedang berlangsung, yang dilakukan oleh guru dengan memberikan umpan balik secara langsung kepada seorang siswa atau kelompok siswa. Dalam melatih keterampilan proses sekaligus dikembangkan sikap-sikap yang dikehendaki seperti kreatif, kerjasama, bertanggung jawab, dan berdisiplin sesuai dengan penekanan bidang studi yang bersangkutan.
Untuk menilai keterampilan proses dapat digunakan cara non tes dengan menggunakan lembar pengamatan. Agar tidak memberatkan guru, pelaksanaanya dapat dilakukan secara bertahap lima orang siswa, begitu seterusnya sampai seluruh siswa mendapat giliran. Hal ini dilakukan oleh guru pada waktu siswa sedang belajar.
Dalam menentukan atau membuat lembar pengamatan, perlu memperhatikan hal-hal berikut.
1. Menentukan keterampilan yang akan diamati
2. Membuat criteria penilaian untuk masing masing keterampilan.

Penilaian terhadap keterampilan proses dapat pula dilakukan dengan tes tertulis, namun tidak menjangkau semua kemampuan, karena menggunakan indera pendengaran dan perabaan tidak mungkin diliai dengan tes tertulis. Di samping itu, penilaian keterampilan proses dapat dilakukan dengan tes perbuatan, tetapi dalam hal ini diperlukan lembar pengamatan yang lebih rinci untuk menilai tingkah laku yang diharapkan.

C. PENUTUP
Jadi pendekatan keterampilan proses merupakan pendekatan belajar mengajar yang mengarah kepada pengembangan kemampuan kemampuan mental, fisik, dan social yang mendasar sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu siswa.Yang sebelumnya harus telah memiliki kemampuan-kemampuan dasar.Kemampuan-kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh siswa diantaranya adalah mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan menerapkan, merencanakan penelitian, dan mengkomunikasikan.
Dan proses yang tidak kalah pentingnya dalam pendekatan proses adalah penilaian.Dengan melakukan penilaian, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan dalam proses pembelajaran yang kemudian dapat digunakan sebagai tolak ukur. Peran guru dalam pelaksanaan penilaian keterampilan proses adalah selaku pengamat yang menentukan penilaian selama proses pembelajaran berlangsung ( untuk alat ukur non tes ) baik siswa perindividu maupun untuk seluruh siswa dalam satu kelas. Guru dapat melakukan penilaian keterampilan proses sebanyak dua atau tiga kali dalam satu semester.
















Bagian 8
TEORI BELAJAR AKTIF DALAM PEMBELAJARAN PAK

A. Pendahuluan
Pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan dimana guru (pengajar) dan murid (pembelajar) berinteraksi, membicarakan suatu bahan atau melakukan suatu aktivitas, guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Dr Oemar Hamalik mengartikan pembelajaran sebagai “suatu kombinasi yang tersusun, meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur, yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Juga dikemukakan bahwa pembelajaran merupakan “upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik”.
Dalam kesempatan ini diperbincangkan sebuah teori pembelajaran aktif dari Dave Meier.
B. Tentang belajar aktif
Belajar aktif itu apa? Apakah ada kegiatan belajar tidak aktif atau pasif? Sebenarnya semua kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif. Tetapi mungkin saja di kelas seringkali ketika mengajar, guru hanya berbicara, bercerita, dan muridnya mendengar dan mencatat. Komunikasi satu arah yang terjadi. Guru PAK seringkali bahkan bertindak seperti pengkotbah yang menyampaikan firman Tuhan di jemaat pada ibadah hari minggu. Pendeta atau pengkotbath membacakan firman Tuhan lalu menguraikannya kepada jemaat. Jemaat dalam kondisi itu hanya sebagai penerima, yang merenung dan mencermati serta mengolah pesan yang didengar bagi dirinya sendiri. Tidak terlihat apa yang terjadi dalam diri warga jemaat itu. Tetapi kegiatan itu pun masih dapat dikatakan aktif, setidaknya dalam diri warga jemaat itu sendiri! Kecuali bila anggota jemaat tertidur. Sebab tidak sedikit juga kegiatan kotbah yang justru membuat jemaat pulas tertidur.
Kegiatan belajar PAK di sekolah harusnya tidak demikian. Tidak membuat murid tertidur. Seharusnya kegiatan itu membuat siswa aktif, seperti: mendengar dan berbicara, melihat dan membaca, bahkan melakukan peragaan atau melakukan suatu aktifitas. Diantara guru dan murid terjadi komunikasi multi arah. Prof. Mohamad Surya mengemukakan pengajaran akan bersifat efektif jika:
(1) berpusat kepada siswa yang aktif, bukan hanya guru;
(2) terjadi interaksi edukatif diantara guru dengan murid;
(3) berkembang suasana demokratis;
(4) metode mengajar bervariasi;
(5) gurunya profesional;
(6) apa yang dipelajari bermakna bagi siswa;
(7) lingkungan belajar kondusif serta
(8) sarana dan prasarana belajar sangat menunjang
Sekarang, pertanyaannya ialah: Kegiatan apa sajakah yang termasuk ke dalam pembelajaran secara aktif? Mengutip gagasan Paul D. Dierich, Dr Oemar Hamalik mengemukakan delapan kelompok perbuatan belajar aktif.
1 – Kegiatan-kegiatan visual: membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja, atau bermain.
2 – Kegiatan-kegiatan lisan (oral): mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi.
3 – Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan instrumen musik, mendengarkan siaran radio.
4 – Kegiatan-kegiatan menulis: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat sketsa, atau rangkuman, mengerjakan tes, mengisi angket.
5 – Kegiatan-kegiatan menggambar: menggambar, membuat grafik, diagram, peta, pola.
6 – Kegiatan-kegiatan metrik: melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan (simulasi), menari, berkebun.
7 – Kegiatan-kegiatan mental: merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat keputusan.
8 – Kegiatan-kegiatan emosional: minat, membedakan, berani, tenang dan sebagainya.
(Hamalik, 1995:90)
C. Mengapa harus kegiatan belajar aktif?
Bahwa guru PAK harus berusaha mengelola kegiatan belajar aktif bersama muridnya ialah pertama, karena hakekat manusia sebagai pribadi yang dinamis. Alkitab mengemukakan bahwa Tuhan Allah menciptakan manusia sebagai pribadi multidimensi, memiliki roh, hati/jiwa (pikiran, perasaan/emosi, dan kehendak/kemauan), serta fisik (pancaindera) (bd. Kej 2:7; Ibr 4:12; 1 Tes 5:23). Ketika anak didik berkumpul di kelas, berarti guru harus melayaninya dalam kegiatan belajar dengan mengaktifkan pontesi dirinya – pancainderanya, pikiran, perasaan, kemauan bahkan rohnya. Para murid juga harus mengalami kegiatan belajar itu sebagai kelompok (komunitas) umat beriman kepada Tuhan Yesus Kristus. Dimana dua, tiga orang berkumpul, di situ kehadiran Allah sangat nyata (bd Mat 18:19-20). Sikap kesatuan dan persatuan harus ditingkatkan, supaya kegiatan kebersamaan itu bermakna.
Landasan kedua, Tuhan Yesus sendiri sebagai Guru Agung, mengajari dan melatih murid-murid-Nya dengan kegiatan aktif. Ada banyak kegiatan yang dilakukan Yesus termasuk: memberikan kotbah atau ceramah, mengemukakan perumpamaan, melakukan perbuatan kasih, menyatakan perbuatan kuasa dan mujizat, mengutus murid melakukan tugas tertentu, mendengarkan dan menjawab pertanyaan, bermain-main dengan anak kecil dan memberkati mereka, berdialog dengan tokoh-tokoh agama Yahudi. Yesus mengajar murid-Nya tidak hanya pada satu lokasi seperti di sebuah rumah saja. Ia mengajari mereka ketika di danau, di perahu, di perjalanan, di bukit, di Bait Allah dan di sinagog, atau di tempat orang menderita (kusta, dirasuk setan Gerasa), termasuk di taman Getsemane, di pengadilan Pilatus dan di Golgota. Dia mengajar di malam hari, di pagi, di siang dan sore hari. Dia mengajar secara individual juga secara kelompok kecil, kelompok sedang (tujuhpuluh murid) dan masa besar (4000 dan 5000 orang). Jika demikian, kalau guru PAK ingin membimbing murid lebih mengenal siapa Yesus Kristus, agar menjadi murid-Nya (bd Mat 28:19-20), maka keteladanan-Nya dalam mengajar harus terus menerus kita renungkan berdasarkan informasi keempat Injil!
Landasan ketiga ialah sifat remaja yang kita layani, sebagai pribadi-pribadi yang bertumbuh dan berubah dalam segi fisik, kognitif, emosional dan sosial. Siswa remaja di tingkat SLTP yang berusia sekitar 13/14-15/16 tahun, menginginkan kegiatan aktif secara fisik, belajar dengan gerakan tubuh atau melakukan sesuatu. Mereka menyukai kegiatan yang ceria dan menyenangkan (fun activities). Karena tengah berkembang dalam segi pola pikir dan pemahaman, remaja menginginkan diskusi, tanya jawab, dialog dengan guru atau diantara sesama rekannya. Didorong oleh rasa ingin tahu (curiosity), remaja biasanya ingin mencari jawaban atas masalahnya sendiri, melalui penyelidikannya. Kegiatan belajar aktif melalui penyelidikan sendiri atau bersama rekan-rekan, cocok bagi mereka. Karena sifat mereka yang labil secara emosional, remaja membutuhkan variasi kegiatan belajar, termasuk suasana keakraban dan persahabatan. Seturut dengan perkembangan sosialnya, siswa SLTP membutuhkan kegiatan kebersamaan dengan rekan-rekannya. Remaja cenderung lebih banyak menerima masukan dari teman sebayanya.
Akhirnya, pandangan ahli-ahli pendidikan yang dikembangkan berdasarkan ilmu-ilmu sosial juga patut kita dengarkan. Oemar Hamalik misalnya, mengemukakan ada sejumlah manfaat atau kegunaan dari kegiatan pembelajaran aktif, antara lain:
1 – Siswa mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri.
2 – Berbuat sendiri akan mengembangkan seluruh aspek kepribadian siswa.
3 – Memupuk kerjasama yang harmonis di kalangan para siswa yang pada gilirannya dapat memperlancar kerja kelompok.
4 – Siswa belajar dan bekerja berdasarkan minat dan kemampuan sendiri, sehingga sangat bermanfaat dalam rangka pelayanan perbedaan individual.
5 – Memupuk disiplin belajar dan suasana belajar yang demokratis dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat.
6 – Membina dan memupuku kerjasama antara sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara guru dan orangtua siswa, yang bermanfaat dalam pendidikan siswa.
7 – Pembelajaran dan belajar dilaksanakan secara realistik dan konkrit, sehingga mengembangkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan terjadinya verbalisme.
8 – Pembelajaran dan kegiatan belajar menjadi hidup sebagaimana halnya kehidupan dalam masyarakat yang penuh dinamika. (1995: 91).


D. Pembelajaranr Aktif kreatif dan menyenangkan (Pakem).
Pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan dimana guru (pengajar) dan murid (pembelajar) berinteraksi, membicarakan suatu bahan atau melakukan
1. J.M.Price, Yesus Guru Agung, lembaga Literatus Baoptis, Bandung hlm, 94
suatu aktivitas, guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Dr Oemar Hamalik mengartikan pembelajaran sebagai “suatu kombinasi yang tersusun, meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur, yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Juga dikemukakan bahwa pembelajaran merupakan “upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik”.
Salah satu unsur penting bagi guru PAK untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi pembelajaran yang direncanakan dan dikelolanya ialah pemahaman tentang konsep atau teori belajar. Kalau guru memahami bagaimana individu dapat belajar secara lebih efektif, maka ia dapat membantu peserta didiknya mengalami kegiatan belajar dengan hasil optimal. Kalau guru hanya menguasai bahan pengajarannya namun kurang mengerti cara efektif anak didik belajar, maka hasil kegiatan yang dikelolanya tentu bisa kurang memuaskan. Untuk tujuan itu, guru perlu terus belajar dari berbagai teori belajar, dan meninjau secara kritis dan konstruktif manfaatnya dalam pembelajaran PAK.
Kegiatan belajar PAK di sekolah harusnya dalam suasana kelas yang aktif, kreatif dan menyengkan (Pakem) sehingga tidak membuat murid tertidur. Seharusnya kegiatan itu membuat siswa aktif, seperti: mendengar dan berbicara, melihat dan membaca, bahkan melakukan peragaan atau melakukan suatu aktifitas. Diantara guru dan murid terjadi komunikasi multi arah. Prof. Mohamad Surya mengemukakan pengajaran akan bersifat efektif jika (1) berpusat kepada siswa yang aktif, bukan hanya guru; (2) terjadi interaksi edukatif diantara guru dengan murid; (3) berkembang suasana demokratis; (4) metode mengajar bervariasi; (5) gurunya profesional; (6) apa yang dipelajari bermakna bagi siswa; (7) lingkungan belajar kondusif serta (8) sarana dan prasarana belajar sangat menunjang
Mengapa harus kegiatan belajar aktif?
Bahwa guru PAK harus berusaha mengelola kegiatan belajar aktif bersama muridnya ialah pertama, karena hakekat manusia sebagai pribadi yang dinamis. Alkitab mengemukakan bahwa Tuhan Allah menciptakan manusia sebagai pribadi multidimensi, memiliki roh, hati/jiwa (pikiran, perasaan/emosi, dan kehendak/kemauan), serta fisik (pancaindera) (bd. Kej 2:7; Ibr 4:12; 1 Tes 5:23). Ketika anak didik berkumpul di kelas, berarti guru harus melayaninya dalam kegiatan belajar dengan mengaktifkan pontesi dirinya – pancainderanya, pikiran, perasaan, kemauan bahkan rohnya. Para murid juga harus mengalami kegiatan belajar itu sebagai kelompok (komunitas) umat beriman kepada Tuhan Yesus Kristus. Dimana dua, tiga orang berkumpul, di situ kehadiran Allah sangat nyata (bd Mat 18:19-20). Sikap kesatuan dan persatuan harus ditingkatkan, supaya kegiatan kebersamaan itu bermakna.
Landasan kedua, Tuhan Yesus sendiri sebagai Guru Agung, mengajari dan melatih murid-murid-Nya dengan kegiatan aktif. Ada banyak kegiatan yang dilakukan Yesus termasuk: memberikan kotbah atau ceramah (Luk.6 ), mengemukakan perumpamaan (Luk. 14, 15, 16, 18, 20 dll), melakukan perbuatan kasih (Luk. 19: 10), menyatakan perbuatan kuasa dan mujizat (Luk. , mengutus murid melakukan tugas tertentu (Luk. 9), mendengarkan dan menjawab pertanyaan (Luk. 18: 18-26), bermain-main dengan anak kecil dan memberkati mereka (Luk. 18: 15-17), berdialog dengan tokoh-tokoh agama Yahudi (Luk. 20: 1- 8). Yesus mengajar murid-Nya tidak hanya pada satu lokasi seperti di sebuah rumah saja. Ia mengajari mereka ketika di danau, di perahu, di perjalanan, di bukit, di Bait Allah dan di sinagog, atau di tempat orang menderita (kusta, buta, dirasuk roh jahat), termasuk di taman Getsemane, di pengadilan Pilatus dan di Golgota. Dia mengajar di malam hari, di pagi, di siang dan sore hari. Dia mengajar secara individual juga secara kelompok kecil, kelompok sedang (tujuh puluh murid) dan masa besar (4000 dan 5000 orang).
Jika guru PAK ingin membimbing murid lebih mengenal siapa Yesus Kristus, agar menjadi murid-Nya (bd Mat 28:19-20), maka keteladanan Yesus dalam mengajar harus terus menerus kita renungkan berdasarkan informasi dari Injil Lukas serta ketiga Injil yang lain (Matius, Markus dan Yohanes)
Cara belajar siswa aktif adalah merupakan tantangan selanjutnya bagi para pendidik. Sebab ruh dari KTSP yang diberlakukan sekarang ini adalah pembelajaran aktif. Dalam pembelajaran aktif baik guru dan siswa sama-sama menjadi mengambil peran yang penting.
Guru sebagai pihak yang;
• merencanakan dan mendesain tahap skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan di dalam kelas.
• membuat strategi pembelajaran apa yang ingin dipakai (strategi yang umum dipakai adalah belajar dengan bekerja sama)
• membayangkan interaksi apa yang mungkin akan terjadi antara guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung.
• Mencari keunikan siswa, dalam hal ini berusaha mencari sisi cerdas dan modalitas belajar siswa dengan demikian sisi kuat dan sisi lemah siswa menjadi perhatian yang setara dan seimbang
• Menilai siswa dengan cara yang tranparan dan adil dan harus merupakan penilaian kinerja serta proses dalam bentuk kognitif, afektif, dan skill (biasa disebut psikomotorik)
• Melakukan macam-macam penilaian misalnya tes tertulis, performa (penampilan saat presentasi, debat dll) dan penugasan atau proyek
• Membuat portfolio pekerjaan siswa.

Siswa menjadi pihak yang;
• menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir
• melakukan riset sederhana
• mempelajari ide-ide serta konsep-konsep baru dan menantang.
• memecahkan masalah (problem solving),
• belajar mengatur waktu dengan baik,
• melakukan kegiatan pembelajaran secara sendiri atau berkelompok (belajar menerima pendapat orang lain, siswa belajar menjadi team player)
• mengaplikasikan hasil pembelajaran lewat tindakan atau action.
• Melakukan interaksi sosial (melakukan wawancara, survey, terjun ke lapangan, mendengarkan guest speaker)
• Banyak kegiatan yang dilakukan dengan berkelompok.
4.2.3. Keteladanan dalam menggunakan Metode
Metode belajar aktif atau sekarang lumrah disebut sebagai metode PAKEM (pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan) saat ini mulai dirasakan pentingnya dikalangan praktisi pendidik. Dikarenakan metode ini agaknya menjadi jawaban bagi suasana kelas yang kaku, membosankan, menakutkan, menjadi beban dan tidak membuat betah dan tidak menumbuhkan perasaan senang belajar bagi anak didik. Alih-alih membuat anak mau menjadi pembelajar sepanjang hayat yang terjadi malah kelas dan sekolah menjadi momok yang menakutkan bagi siswa.
Ada contoh-contoh tentang cara Yesus dalam pemakaian metode, misalnya Diskusi, kita lihat dalam contoh Yesus diurapi oleh perempuan bedosa (Luk. 7:1-50), Metode Ceramah dipakai dalam kotbah di Bukit (Luk. 6:20-26), Ada metode cerita seperti terdapat dalam Lukas 15 dan masih ada cara lain yang memakai alat peraga, seperti menaruh seorang anak kecil di tengah-tengah mereka (Luk. 18:15-17 ) Metode Tanya jawab seperti pada waktu percakapan dengan ahli taurat (Luk. 15)
Dari contoh-contoh di atas, ada banyak hal yang bisa dipakai dalam pembelajaran aktif dan kreatif serta inovatif. Yesus ahli sekali dalam hal memakai metode-metode dalam pengajaraNya. J.M Price, dalam Buku Yesus Guru Agung mengatakan bahwa tentang pengajaran, metode-metode itu rupanya hal yang biasa bagiNya, dan tumbuh dari keadaan dan kebutuhan1 Dan metode-metode yang kita pakai sekarang semuanya telah dipakai Yesus walaupun saat itu dalam bentuk yang sederhana. Metode pengajaran Tuhan Yesus merupakan sumbanngan yang besar bagi pembelajaran di masa kini dan yang akan datang.
4.2.4. Keteladanan dalam Evaluasi
Dalam proses pembelajaran, sepertinya belum sempurna jika belum ada Evaluasi atau penilaian. Sebab Evaluasi adalah sauatu alat untuk melihat apakah program yang direncanakann telah tercapai, berharga atau tidak dan untuk melihat efisiensi pelaksanaan pembelajaran. Evaluasi dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan umpan balik bagi guru untuk mengukur kompetensi serta profesionalitas diri sendiri sebagai Guru PAK 1
Evaluasi atau menguji hasil merupakan bagian dari kegiatan mengajar. Oleh sebab itu pelaksanaannya harus dipersiapkan sedemikian rupa, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Ada beberapa macam cara mengevaluasi, salah satu cara yang kuno yang dipakai Yesus dalam pengajaranNya ialah dengan tanya jawab, dengan memilih jawaban benar diantara dua atau tiga jawaban yang telah disediakan (Lukas 10: 36).
1. J.M.Price, Yesus Guru Agung, lembaga Literatus Baoptis, Bandung hlm, 99
2. Janse Belandina Non Serrano, Profesionalisme Guru dan Bingkai materi Pendidikan Agama Kristen ( Bandung, Bina Media Informasi, 2005) hlm. 19

Walaupun tidak begitu jelas dalam Yesus menggunakan evaluasi, namun Yesus juga mencari jalan bagaimana untuk mengetahui hasil pengajaranNya. Dalam Injil Lukas kita menemukan satu perikop, yaitu Lukas 10:1-12,17. Yesus menerima laporan tentang perjalanan pengutusan Injil ke-70 muridNya ketika mereka kembali.
Menurut Janse Belandina Non-Serrano, dalam Buku Profesionalisme Guru dan Bingkai materi memberikan gambaran atau bentuk evaluasi, yaitu : Pertama Elavuasi dilakukan dengan cara kerja mandiri dengan mengambil contoh dari beberapa bagian teks Alkitab, dan yang kedua mengisi kota potensi dan kelemahan yang berkaitan dengan kopetensi dan karakter guru. 1
Sedangkan Prinsip penilaian dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), antara lain harus valid, obyektif, tranfaran/terbuka, adil, terpadu, menyeluruh dan kberkesinambungan, bernakna, sistematis, akutanbel serta beracuan kriteria.
Jenis penilaian hasil belajarnya berdasarkan cakupan kompetensi yang diukur, yaitu melalui: Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ulangan Akhir Semester dan Ulangan kenaikkan Kelas. Berdasarkan sasaran, yaitu penilaian individu dan kelompok. Untuk lebih jelasnya mengenai teknik penilaian, skala sikap dan angket, lihat lampiran yang telah penyusun lampirkan.
Singkat kata, kita tidak boleh mengambaikan penilaian atau evaluasi, karena Evaluasi atau penilaian itu sebagai umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kemampuan dan kekurangan. Evaluasi juga untuk memantau kemajuan dan mendiagnosa kesulitan belajar siswa. Sedangkan bagi guru, Evaluasi juga sebagai umpan balik untuk memperbaiki Proses Belajar Mengajar (PBM), sebagai informasi untuk orang tua, komite sekolah tentang efektifitas pendidikan. Evaluasi juga berfungsi sebagai alat untuk menetapkan penguasaan siswa, sebagai bimbingan, alat diagnosa, alat predisi dan alat seleksi.

E. Teori belajar aktif Dave Meier
Belakangan ini ada sebuah teori belajar aktif yang dinamakan teori holistik. Dave Meier dalam bukunya The Accelerated Learning Handbook (Kaifa, 2002), mengemukakan bahwa konsep guru mengenai siapa manusia yang diajarinya (murid) menentukan sekali terhadap kegiatan belajar yang direncanakan dan dikelolanya. Meier mengkritik kecenderungan pendidikan di Barat yang memandang manusia hanya sebagai tubuh dan pikiran. Aktivitas tubuh dan pikiran dipisahkan dalam kegiatan belajar. Pembelajaran sangat kaku. Selain itu pembelajaran individual amat ditekankan. Cara berpikir ilmiah pun sangat diutamakan. Peranan media cetak dalam belajar seperti buku sumber utama sangat ditekankan.
Dari penelitiannya, Dave Meier berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi yakni: tubuh atau somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan pemikiran atau intelek (I). Bertolak dari pandangan ini ia mengajukan model pembelajaran aktif yang disingkat SAVI – somatis, auditori, visual dan intelektual. Dengan pemahaman ini beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:
1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran
2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
3 – Kerjasama membantu proses belajar.
4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu.
Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)
* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan apa yang dipelajari.
* Mewawancarai orang di luar kelas.
* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.
Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?
* Membaca keras dari bahan sumber.
* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.
* Membuat rekaman suara sendiri.
* Menceritakan buku yang dibaca.
* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.
* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.
* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.
Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?
* Mengamati gambar dan memaknainya.
* Memperhatikan grafik atau membuatnya
* Melihat benda tiga dimensi.
* Menonton video, film.
* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan
* Dekorasi warna-warni
Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
F. Manfaat Pembelajaran Aktif bagi guru PAK
Teori dan prinsip belajar aktif di atas, perlu kita responi secara positif. Adalah benar bahwa dalam kegiatan belajar berbagai aspek kedirian (persona) manusia harus dilibatkan. Allah sendiri berbicara (mengajari) manusia dengan berbagai cara dan dalam pelbagai kesempatan (bd. Ibr 1:1-2; Ul 6:6-9). Allah menghendaki kita kreatif dalam merencanakan dan mengelola kegiatan pembelajaran. Menilai hasil kegiatan itu tentunya juga jangan hanya dari satu aspek, seperti dari segi intelektual anak didik.
Karena PAK terkait dengan masalah kerohanian atau spiritualitas, maka ia sedikit berbeda dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran lainya. Alkitab mengajarkan manusia juga memiliki roh, hati dan suara hati dalam dirinya. Jika roh manusia “dijamah” Allah yang adalah Roh (bd Yoh 4:24), maka kegiatan belajar menjadi sangat aktif dan penuh makna. Kegiatan belajar menjadi transformatoris, membawa perubahan dari dalam keluar (proses inside out). Jika tidak demikian, yang terjadi ialah proses outside in atau dari luar ke dalam. Anak didik hanya bersifat konformis terhadap apa yang diajarkan oleh guru kepadanya, dalam arti menerima supaya mendapat nilai (angka) bagus! Bagaimana caranya supaya murid mengalami kehadiran Roh Allah? Jawabnya, jika mereka menyambut Yesus ke dalam kehidupannya, karena mendengarkan berita Injil secara jelas (bd Ef 1:13,14; 1 Kor 15:3,4; Rom 8:9-11). Karena itu PAK perlu terus menjelaskan berita pengampunan dosa, berita anugerah kepada para siswa.
Kegiatan belajar PAK bersifat spiritual. Karena itu bersama murid, guru harus giat berdoa, beribadah, memuji dan menyembah Dia. Guru PAK hanyalah hamba Tuhan. Dia hanya perantara (imam) Sang Raja Kristus dengan murid (1 Ptr 2:9,10). Roh Kuduslah menjadi pengajar sesungguhnya dalam diri orang percaya (Yoh 16:11-13; 1 Yoh 2:20,27). Pengakuan kita sebagai guru, kepada Pribadi Roh Tuhan ini sangat penting. Kita juga berdoa supaya dipenuhi oleh-Nya (Ef 5:18), dipimpin dan berjalan menunaikan karya bersama Dia (Gal 5:16-18). Kita juga harus menjaga diri supaya tidak mendukakan Dia (Ef 4:30). Atau supaya tidak menghambat pekerjaan-Nya (1 Tes 5:20). Kitab Kisah Para Rasul menyatakan bahwa ketika Roh Kudus hadir dan bekerja dalam hidup komunitas orang percaya, maka proses pembelajaran berlangsung dengan baik dan membawa perubahan hidup.
Guru PAK hendaknya jangan memandang rendah pengalaman spiritual siswanya juga pergumulan yang dihadapinya. Iman Kristen yang diperlukan oleh siswa remaja dewasa ini ialah yang sifatnya praktis, termasuk bagaimana menghadapi krisis dan konflik kehidupan di rumah, di sekolah dan diantara kawan-kawan. Guru harus bersedia mendengar apa yang mereka alami dan pergumulkan. Bahkan bersedia menyimak masalah mereka lebih dari yang diucapkan. Selanjutnya guru menuntun mereka menemukan jawaban dari firman Tuhan. Mengajak murid berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, mendoakan mereka, juga membukakan hati mereka kepada Dia.
Menjadikan diri teladan iman, adalah menjadi kerinduan siswa remaja yang kita layani. Siswa di usia ini sangat gemar mengamati kehidupan tokoh-tokoh di sekitarnya, menilai apakah layak didengar, diikuti atau tidak. Firman Tuhan sendiri mengatakan bahwa dalam melayani kaum muda, para pelayan harus menjadi teladan, model kehidupan (live model) (bd. Ti 2:6,7). Guru PAK harus menanamkan pengaruh melalui keteladanan hidupnya baik dalam perkataan dan perbuatan mengajar.

Penutup :
Mempelajari teori belajar menurut konsep-konsep keilmuan dan teori pendidikan adalah penting. Memahmi kebiasaan belajar yang kita amati dan terima dari masyarakat dan budaya juga harus kita cermati. Budaya kita menekankan pengamatan dan peniruan dalam kegiatan belajar. Begitu pula dengan pentingnya kelompok atau peran orang lain. Kita banyak belajar di dalam kelompok.
Namun, hal itu jangan membuat kita meremehkan peran Roh Tuhan yang datang ke dunia menyaksikan pekerjaan dan pribadi Yesus Kristus. Roh Kudus yang membuat orang mengerti pengajaran Alkitab, yang kita perbincangkan bersama anak didik. Dimana Roh Kudus bekerja di situ terdapat aktivitas pembaruan (2 Kor 3:17,18). (SAM)














Bagian 9
MOTIVASI DAN PRESTASI


Bagian 10
PANGGILAN UNTUK BELAJAR TEORI DARI TUHAN YESUS

"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." Yesus
Ada panggilan dari hati Yesus kepada setiap orang untuk datang kepada-Nya dan belajar dari pada-Nya. Yesus tidak hanya datang untuk orang-orang tertentu di Timur Tengah tetapi Dia datang untuk semua orang di dunia. Dia juga tidak datang untuk mendirikan suatu agama tetapi membawa gaya hidup Kerajaan di dunia ini seperti di Surga. Jadi Dia memanggil kita untuk belajar dari pengalaman-Nya akan suatu gaya hidup yang mengubah dunia.
Tuhan mau kita belajar dari Yesus yang datang untuk memanifestasikan gaya hidup Tuhan kepada manusia. Kenapa kita harus belajar dari Yesus? Karena Yesus adalah seorang pembelajar atau murid yang baik dan dalam proses pembelajaran-Nya, Dia telah menunjukkan kemampuan untuk menjadi taat, mau dan rela untuk mengerjakan kehendak Tuhan, anugerah dibawah penderitaan dan dengan kasih memanifestasikan Bapa kepada dunia yang Dia kasihi.
Untuk belajar dari Yesus kita perlu untuk meresponi panggilan-Nya PERTAMA-TAMA dan membiarkan Dia membawa damai dalam saudara mempunyai arti bahwa saudara perlu berdamai dengan Tuhan, diri saudara sendiri dan dengan yang lain BARU KEMUDIAN saudara bisa masuk ke dalam proses pembelajaran yang alami tapi penuh kuasa. Hal ini dimulai dengan memikul kuk-Nya yang punya arti bahwa kita perlu mendisiplinkan diri kita untuk jalan dalam suatu kehidupan yang membawa beban yang sama dengan Yesus. Artinya ada proses penyesuaian dari hidup kita kepada hidup Yesus melalui perjanjian atau covenant kita dengan Dia. Kita tidak dapat belajar dari Dia kecuali kita hidup dalam covenant dengan Dia. Marilah kita memeluk Salib itu dan memikulnya setiap hari. Hal inilah yang mendasari dasar panggilan kita yang sesungguhnya.
Kita perlu untuk mengerti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat hidup melebihi kedisiplinannya dan covenant dengan Tuhan adalah suatu disiplin untuk fokus dalam melakukan bagian kita sebagai tanggungjawab kita sehingga Tuhan akan melakukan bagian-Nya dengan yang terbaik dari pada-Nya. Jika saudara tidak bisa menerapkan kedisiplinan dari dalam melalui salib maka yang saudara perlukan adalah kedisiplinan dari luar. Lebih baik menyerah pada proses salib yang datang dari dalam sehingga saudara mati pada diri saudara sendiri dan mulai hidup dalam kesesuaian dengan Yesus dari pada mencoba tanpa hasil untuk menyembunyikan keangkuhan dan kenyamanan hidup kita di dalam. Karena jika kita memberi hidup kita pada Tuhan, maka ini berarti tidak seorang pun yang akan dapat mengambilnya dari kita. Hukumnya adalah ini bahwa tidak seorang pun akan dapat mengambil sesuatu dari apa yang saudara telah beri. Lagi, kita perlu untuk membiarkan salib mengerjakan hidup kita sampai tuntas supaya kita bisa belajar dari pada-Nya.
Yesus datang untuk mambagi hidup. Ini adalah pokok mendasar yang kita perlu untuk belajar: BAGAIMANA HIDUP. Jadi ini tentang belajar kehidupan dan bukan belajar pengetahuan. Jadi untuk belajar bagaimana hidup adalah dengan cara hidup dengan orang lain. Dan hidup dengan orang lain kita perlu punya sikap hati yang benar dan hanya Yesus yang dapat mengajar kita tentang kelemah-lembutan dan kerendahan-hati, Dia tidak hanya menjelaskan arti katanya dalam teori tetapi melalui praktek kehidupan dalam cara yang sangat alamiah tentang kelemah-lembutan dan kerendahan-hati yang keluar dari dalam.
Mencoba untuk mendefinisikan kelemah-lembutan dan kerendahan-hati diluar komunitas atau hidup bersama adalah sama sekali salah sebab kelemah-lembutan dan kerendahan-hati hanya datang secara alamiah melalui hubungan dengan sesama. Jadi kelemah-lembutan adalah kemampuan untuk membawa kuasa dibawah kendali sehingga kita tidak akan memaksa apa yang kita mau untuk orang lain tapi membiarkan Tuhan mengerjakan jalan-Nya sendiri dalam segala sesuatu yang terjadi. Dan kerendahan-hati adalah kemampuan untuk menerima apa yang Tuhan ijinkan terjadi dalam hidup kita, dalam aspek horisontal adalah kemampuan untuk menerima dan mengakomodasi kesalahan orang lain tanpa menghakimi orang tersebut.
Saya kira tidak akan ada orang yang akan memandang rendah apa yang Yesus berikan karena kita semua rindu untuk hidup dalam hubungan yang damai satu dengan yang lain.
Yesus memanggil setiap orang tanpa melihat agama, kebangsaan, bahasa dan suku untuk datang dan belajar dari Dia. Saya pun ingin menyatakan undangan-Nya kepada semua orang tanpa melihat agama dan falsafah yang dianutnya, ataupun latar belakangnya, dan bahkan Generasi X untuk datang pada Yesus dan belajar dari Dia. Saudara punya hak untuk datang sebab Yesus memanggil semua untuk belajar dari Dia gaya hidup Kerajaan. Selamat datang pada Pemuridan.































Bagian 4
KONSTRUKTIVISTIK

1. Pendahuluan
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.
Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik.

2. Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik

a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

3. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.















4. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

5. Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.
Alkitab seringkali menyebutkan berbagai cara Tuhan Yesus mengajar, ada khotbah di bukit, berdialog dengan para ahli taurat di dalam bait Allah pada usia 12 tahun, berjalan bersama dua orang murid ke Emaus, pada peristiwa perempuan yang melacurkan diri dan banyak lagi, semua itu merupakan pembelajaran yang merupakan perwujudan dari pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran yang membuat pebelajarnya membangun maknanya sendiri, bukan mentranfer makna/pengetahuan.

Dina Gasong


Rujukan
G. ^ [Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally]
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company
Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and Teaching ini Higher Education. London: Paul Chapman Publising
Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon
• Model Mastery Learning - http://andieirfan.multiply.com/
• Rancang Bangun Konsep Teknologi Pendidikan – ttp://re-searchengines.com/ ishak1108.html
• Mastery learning - http://one.indoskripsi.com/node
• Block, James H. (1971) Mastery learning : Theory and practice. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc.
• Suwatno, Dr, M.Si. 2008, Mengatasi kesulitan belajar melalui klinik pembelajaran : Disampaikan pada Workshop Evaluasi dan Pengembangan Teaching Klinik bagi dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang, Januari 2008
• Suratin GM, Drs. 2000. Pengaruh pendekatan andragogi mastery learning secara terpadu terhadap prestasi belajar mahasiswa penyetaraan D II PGSD guru kelas pada mata kuliah evaluasi pengajaran : Lemlit UT

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik"
Kategori tersembunyi: Artikel yang perlu dirapikan | Artikel yang belum dirapikan Juni 2009


[1] Bahan diskusi bersama Guru PAK tingkat SLTP Jawa Barat, di Bandung, Kamis, 6 April 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar