Selasa, 23 Agustus 2011

Pentingnya Bimbingan Konseling di Sekolah


TUJUAN pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum; demi mutu keberhasilanakademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja. Penyiapan peserta didik demi melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi akan melulu memperhatikan sisi materi pelajaran, agar para lulusannya dapat lolos tes masuk perguruan tinggi. Akibatnya, proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot dalam proses pembentukan pribadi. Betapa pembentukan pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura personalis) terabaikan. Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran di setiap sekolah. Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal.
Penulis merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah dan terlalu mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.

Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan pemilahan peran yang saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan para konselornya disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil peran disipliner dan hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib. Siswa mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan punishment, pujian dan hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama. Pemilahan peran demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat reward atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam tindakan hukum-menghukum.
Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang muda di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian, cercaan, dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan. Namun, jika melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering pujian, sanjungan atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen kependidikan di sekolah bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan vonis serta hukuman, maka semakin lengkaplah pembentukan pribadi-pribadi yang tidak seimbang.
BK dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan. Lembaga ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah, sejauh mereka dapat ditolong untuk lebih mengerti akan anak mereka.
Tantangan pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi yang ideal justru datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri. Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat dengan konselor atau guru-guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor akan memakan “gaji buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas mengajar keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan, atau jika tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan tugas-tugas konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal, betapa pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.
BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai. Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian dari perpustakaan (yang disekat tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang hakiki. Menaruh harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi, sekarang ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah dan semua pihak yang terlibat dalam proses kependidikan.
Bahan Kuliah Bimbingan Konseling
Untuk Mahasiswa Prog. S1 Teologia STT Efata Salatiga




PUNGSI, PRINSIP DAN ASAS
BIMBINGAN KONSELING
A. Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :
1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.
4. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
8. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.
9. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
10. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli

B. Prinsip
Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
4. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.
5. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.
6. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

C. Asas-asas Bimbingan Konseling
Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.
1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.
Bahan Kuliah Bimbingan Konseling
Untuk Mahasiswa Prog. S1 Teologia STT Efata Salatiga
























GEREJA DAN PELAYANAN BIMBINGAN KONSELING

A. Rencana Pelayanan Bimbingan Konseling
Setiap tubuh orang percaya yang ingin mengembangkan suatu pelayanan bimbingan harus melakukannya berdasarkan pedoman-pedoman Kitab Suci dan didalam kerangka gereja yang ada. Artikel berikut ini memberikan saran tentang cara-cara untuk mengembangkan dan melakukan pelayanan bimbingan. Beberapa saran mungkin tidak dapat dipraktekkan dalam setiap gereja, namun kerangkanya dapat memberikan suatu titik tolak.
Bimbingan alkitabiah harus berada dibawah wewenang tubuh gereja setempat dan bertanggung jawab kepada pemimpin gereja. Masing-masing pembimbing harus tunduk kepada Tuhan, pimpinan, dan Tubuh Kristus. Para pembimbing harus diangkat dan ditunjuk oleh pemimpin untuk melayani Tuhan dengan melayani orang-orang dalam jemaat yang sedang menderita masalah-masalah kehidupan. Karena kebergantungan yang kuat kepada Roh Kudus dan karena bimbingan merupakan suatu fungsi Tubuh Kristus dan suatu pernyataan kasih Allah, maka tidak ada biaya bimbingan. Idealnya, bimbingan harus merupakan saluran kasih dan pelayanan yang wajar dalam persekutuan orang-orang percaya yang saling mengenal dan saling mengasihi. Bimbingan mungkin muncul dari hubungan kepercayaan yang telah terjalin antara pemimpin dan anggota pelayanan kelompok kecil dalam sebuah gereja.
Pelayanan bimbingan alkitabiah di gereja kami tumbuh karena suatu kebutuhan dalam Tubuh Tuhan. Pendeta kami menjadi terlalu dibebani dengan tugas bimbingan, namun merasa bertanggung jawab untuk melayani kawanan domba. Ia mulai memanggil beberapa orang dari kami dalam jemaat untuk ikut memikul masalah-masalah kehidupan. Ketika kami semakin terlibat, kami melihatnya sebagai suatu pelayanan yang diinginkan Allah bagi umat-Nya -- suatu fungsi Tubuh Kristus.
Dalam kitab Kejadian, Yitro menyarankan suatu rencana yang mirip bagi Musa. Hari demi hari orang-orang berbaris di luar tenda Musa untuk meminta bimbingan dan nasihat, sama seperti banyak orang di gereja mungkin datang kepada pendetanya untuk bimbingan. Yitro dapat melihat bahwa itu adalah tugas yang terlalu berat untuk dilakukan oleh satu orang dan menyarankan agar Musa membagi tanggung jawab ini dengan orang-orang lain. Musa menugaskan pemimpin-pemimpin kelompok dan mengajarkan cara-cara Allah kepada mereka agar dapat membimbing mereka yang perlu mengetahui cara Allah dalam suatu situasi tertentu dan menemukan cara Allah untuk penyelesaian masalah. Dalam Tubuh Kristus diperlukan jauh lebih banyak pelayanan daripada yang dapat dilakukan oleh satu orang. Kevin Springer dalam "Pastoral Renewal" merasa prihatin bahwa "banyak pemimpin menghabiskan waktu yang lama dan sukar dengan sekelompok kecil dari bangsa mereka, dan mengabaikan anggota-anggota yang lebih bertalenta, anggota-anggota orang dewasa yang terabaikan -- justru anggota-anggota yang dapat diperlengkapi untuk melayani orang lain". Seorang pendeta yang bijaksana akan memimpin orang-orang lain ke dalam segi-segi pelayanan yang dipikul bersama sehingga seluruh tubuh boleh berfungsi bersama dan menyatakan keutuhan dan kekudusan yang dimaksudkan oleh Tuhan bagi gereja.
Sangatlah menolong bila seorang pendeta dapat menyarankan seseorang supaya pergi kepada seorang pembimbing alkitabiah dalam persekutuan setempat sehingga orang yang membutuhkan bimbingan tidak jatuh ke dalam tangan "pembimbing gadungan" atau tidak usah berpaling kepada orang-orang di luar gereja yang mungkin membimbing menurut filsafat dan pengajaran yang tidak sesuai dengan pengajaran dalam persekutuan. Tidak ada bagian dalam Kitab suci yang mengatakan agar menyuruh seorang percaya pergi ke dunia untuk menemukan pertolongan bagi masalah-masalah kehidupan. Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk melayani, dan Ia mengutus Roh Kudus untuk memenuhi kebutuhan umat.
B. Mengembangkan Suatu Pelayanan Bimbingan
Unsur-unsur dasar bagi perubahan sudah ada dalam gereja yang mempunyai lingkungan kasih dan pengajaran firman Allah yang kuat. Bimbingan alkitabiah dalam sebuah gereja semata-mata merupakan bentuk pelayanan belas kasihan dan kebenaran Allah yang lebih pribadi dan khusus. Karena itu, bimbingan alkitabiah tidak boleh dirasakan asing. Sekalipun demikian, banyak hamba Tuhan dan orang awam merasa sama sekali tidak diperlengkapi karena mereka mengira bahwa bimbingan alkitabiah bagaimanapun juga harus menyamai bimbingan psikologis.
Bimbingan alkitabiah melibatkan persekutuan kasih dalam tubuh (lingkungan bagi perubahan) dan khotbah serta pengajaran firman (arah bagi perubahan) dan bukan teknik-teknik dan teori-teori bimbingan psikologis.
Bila seorang pendeta ingin mengembangkan suatu pelayanan bimbingan dalam tubuh, maka apa yang memang sudah ada dalam kelompok hendaklah diterapkan kepada orang-orang secara perseorangan. Dalam bimbingan alkitabiah perhatian menjadi bersifat pribadi dengan cara menyediakan waktu dan bersedia mendengarkan, dan pengajaran menjadi bersifat pribadi untuk memenuhi kebutuhan khusus seseorang. Maka lingkungan dan arah perubahan dengan cara memberikan kemurahan dan kebenaran lebih disesuaikan dengan seseorang daripada dengan suatu kelompok secara keseluruhan. Pendeta mempunyai lebih banyak untuk diberikan daripada yang mungkin disadarinya.
Anggota-anggota jemaat mungkin juga mempunyai lebih banyak untuk diberikan dalam bimbingan daripada yang disadari mereka. Ketika mereka telah berpartisipasi sebagai anggota-anggota suatu lingkungan yang penuh perhatian, dan ketika mereka secara pribadi telah mengikuti kebenaran Kitab Suci dalam kehidupan mereka sendiri, mereka telah mengalami pengaruh-pengaruh dari lingkungan yang penuh kasih dan pengarahan untuk perubahan. Banyak orang telah menyediakan lingkungan yang penuh kasih sayang dan pengarahan untuk perubahan melalui interaksi pribadi dengan sesama orang Kristen. Dengan demikian sudah banyak orang yang telah diperlengkapi untuk melayani sebagai pembimbing alkitabiah.
Kecuali jika suatu jemaat hanya terdiri dari orang-orang percaya yang baru atau masih muda, maka akan ada suatu kelompok orang dalam persekutuan yang diperlengkapi untuk membimbing. Orang-orang ini telah mempelajari Alkitab dan telah menerapkan firman Allah dalam kehidupan mereka sendiri. Mereka mempunyai karunia untuk membimbing di dalam keseimbangan antara kasih sayang dan kebenaran. Semua jemaat yang telah kami hubungi berkenaan dengan suatu pelayanan bimbingan mempunyai anggota-anggota yang bersedia dan mampu melayani dengan segera jika kesempatan diberikan. Memulai suatu pelayanan bimbingan semata-mata menyangkut pemilihan pembimbing, memberi latihan dalam prinsip-prinsip dasar yang akan mereka butuhkan untuk diterapkan dalam pelayanan bimbingan, mengorganisasikan dan mengumumkan pelayanan itu, lalu mempercayakan hasilnya kepada Allah.
Di samping latihan dari Tuhan yang telah diterima mereka, para pembimbing dan calon pembimbing harus terus belajar sementara mereka menyelidiki Kitab suci untuk mencari cara-cara Allah bagi pelayanan kepada orang-orang, sementara mereka membaca buku untuk memperoleh manfaat dari pengalaman orang lain yang membimbing menurut firman Allah, dan juga sementara mereka mulai melayani pribadi-pribadi. Cara terutama untuk belajar bagaimana melakukan sesuatu adalah dengan melakukannya. Pedoman memang diperlukan, namun cara satu- satunya untuk benar-benar belajar adalah dengan mulai menyediakan lingkungan yang penuh kemurahan dengan cara mendengarkan, memperhatikan, dan mendoakan. Kemudian ketika Roh Kudus memberikan hikmat, pengajaran ditambahkan. Kebergantungan kepada Roh Kudus sungguh sangat penting karena lingkungan yang terbaik bagi bimbingan datang dari kehadiran Allah dan arah perubahan datang dari firman- Nya sementara Roh Kudus membuatnya menjadi dapat diterapkan dan hidup.
Tampaknya salah satu aspek yang paling merisaukan dalam memulai suatu pelayanan bimbingan ialah program latihan. Banyak pendeta merasa tidak mampu untuk mengajar sebuah kelas dalam bimbingan alkitabiah. Padahal, prinsip-prinsip Alkitab yang merupakan dasar bimbingan alkitabiah telah dikhotbahkan dan diajarkan dari mimbar selama ini. Karena seorang pembimbing alkitabiah melayani dengan belas kasihan dan kebenaran untuk menyediakan lingkungan dan arah bagi perubahan, maka latihan harus berkisar pada kedua bidang tersebut.
Memberi pengajaran tentang menyediakan lingkungan yang penuh kemurahan tentunya sudah biasa dilakukan oleh seorang pendeta yang telah mendorong jemaatnya untuk menyediakan lingkungan seperti itu. Karena dalam melayani jemaatnya seyogyanya ia telah mengajarkan kasih, kebaikan, kemurahan, kesabaran, pengertian, dan sifat-sifat lain yang harus berkembang sebagai buah Roh, ia memiliki suatu sumber yang kaya akan bahan pelajaran.
Di samping itu, ia harus memilih pembimbing-pembimbing awam yang telah memiliki sifat-sifat tadi dan buah Roh. Pengajaran dalam bidang ini kemudian dapat ditambah dengan artikel-artikel dan buku- buku yang menekankan unsur saling memperhatikan dalam Tubuh Kristus.
Seorang pendeta juga tahu bagaimana melatih pembimbing untuk memberikan arah dalam lingkup bimbingan. Ia akan mengajarkan kepada para pembimbing apa yang harus diajarkan, yaitu bagaimana caranya hidup dalam kehidupan Kristen. Ia akan mengajar mereka untuk menerapkan secara pribadi pengajaran firman Allah yang sama yang diajarkannya dari mimbar; bagaimana menjalani kehidupan Kristen dengan menerima kasih Allah, mempercayai-Nya, dan menaati-Nya.
Karena khotbah, pengajaran kelompok, dan bimbingan pribadi semuanya meliputi pengajaran tentang bagaimana menjalani kehidupan Kristen dan doktrin-doktrin dasar Kitab suci lainnya, adalah menarik untuk melihat beberapa persamaan dan perbedaan yang ada. Khotbah, pengajaran, dan bimbingan alkitabiah harus: (1) didasarkan pada doktrin-doktrin Kitab Suci; (2) berpusatkan pada Allah dan sifat-Nya, firman dan kehendak-Nya; (3) membimbing orang-orang dalam menjalani kehidupan Kristen; (4) memotivasi orang-orang untuk memilih dan melakukan kehendak Allah; (5) menasihati, menjelaskan, mendorong, dan mengasihi; (6) bergantung kepada Roh Kudus; (7) menyadari kebutuhan orang-orang yang mendengarkan; dan (8) mengusahakan kesembuhan, perubahan, dan pertumbuhan.
Dalam beberapa hal bimbingan berbeda dengan khotbah atau pengajaran kelompok. Bimbingan meliputi tindakan mendengarkan dan berbicara. Baik orang yang dibimbing maupun pembimbing belajar satu tentang yang lain dan juga tentang Tuhan. Apa yang diajarkan didasarkan atas kebutuhan seseorang sebagaimana yang dilihat melalui mendengarkan dan berdoa, sedangkan dalam pengajaran atau khotbah pokok bahasan didasarkan atas kebutuhan kelompok sebagaimana dilihat melalui pengenalan akan kelompok dan doa. Adakalanya bimbingan mungkin berupa hubungan pribadi atas kemurahan sementara yang dibimbing memilih petunjuk Allah. Barangkali perbedaan-perbedannya dapat diringkaskan sebagai berikut: bimbingan lebih bersifat pribadi, terjadi melalui percakapan, menyentuh kebutuhan-kebutuhan tertentu, dan menyampaikan kasih sayang dan kebenaran Allah melalui waktu yang diberikan kepada seseorang atau suatu pasangan.
Kebenaran-kebenaran yang sama dapat diajarkan melalui mimbar, di dalam kelas, dan selama bimbingan. Karena itu, seorang pendeta dapat melakukan banyak hal untuk melatih anggota-anggota jemaatnya dalam bimbingan alkitabiah. Namun, bimbingan itu sendiri merupakan suatu karunia yang berbeda dari khotbah dan pengajaran. Cukup sering seorang pendeta yang memiliki karunia dalam berkhotbah dan yang karenanya dapat mengajarkan banyak hal tentang bimbingan mungkin sebenarnya tidak mempunyai karunia membimbing. Sebaliknya, ada orang-orang yang mempunyai kemampuan antar pribadi dan kemampuan untuk mendengarkan dengan penuh pengertian dan kesabaran yang mampu membimbing secara efektif, namun dapat membuat pendengar tertidur kalau ia berkhotbah. Sumber kasih sayang dan kebenaran itu sama, namun karunia, panggilan, dan cara menyajikan berbeda. Karena itu, seorang pendeta yang merasa tidak mampu menjadi seorang pembimbing dapat menjadi alat untuk mengajar orang-orang lain tentang banyak hal yang dibutuhkan mereka untuk memberi bimbingan.




Untuk menjadi gereja yang siap memberikan pelayanan bimbingan (konseling) ada beberapa persyaratan; berikut ini adalah 9 ciri yang dibutuhkan:
C. CIRI-CIRI "GEREJA YANG SALING MEMPEDULIKAN"
1. Terdiri dari jemaat yang percaya pada Tuhan Yesus sebagai Juruselamat dan mau hidup sesuai dengan kebenaran firman-Nya. Jemaat dari gereja yang saling mempedulikan juga memperhatikan penginjilan, pemuridan, dan membekali setiap anggota dengan makanan rohani yang sehat, sehingga mereka juga dapat melayani orang lain, mempedulikan sesama, mengabarkan Injil baik di rumah, di masyarakat sekitarnya maupun di mana saja mereka berada.
2. Pemimpin-pemimpin gereja yang saling mempedulikan termasuk pendetanya, terdiri dari orang-orang yang benar-benar rindu untuk tumbuh sebagai anak-anak Allah dan dengan tulus memperhatikan kebutuhan orang lain. Hal ini diekspresikan dalam sikap mau mendengar, menghibur, mendorong dan membimbing dalam kasih dan pengertian.
3. Suasana kebaktian di gereja yang saling mempedulikan berpusatkan pada Kristus dan pembinaan persaudaraan. Ada usaha yang sungguh- sungguh untuk memberikan sambutan yang hangat pada mereka yang datang. Kebenaran firman dan kebutuhan jemaat merupakan inti dari setiap pemberitaan firman Tuhan dan dapat pengajaran di sekolah minggu. Kesempatan selalu disediakan bagi mereka yang membutuhkan bantuan doa, pertolongan, dan persekutuan.
4. Gereja yang saling mempedulikan juga memberikan kesempatan bagi jemaat, untuk saling menanggung beban dan saling membantu, sehingga ada kesempatan bagi pendeta untuk bekerja sama dengan jemaat untuk saling mendukung dalam pelayanan. Jemaat dapat menunjukkan perhatian pada mereka yang baru pindah, sakit, yang menderita, yang tidak mempunyai keluarga, kesepian, dll. Secara perorangan maupun sebagai jemaat, selalu ada usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada di masyarakat.
5. Kelompok doa, pemahaman Alkitab, dan pelayanan keluar sangat ditekankan. Dalam grup selalu disediakan kesempatan bagi setiap anggota untuk mengutarakan persoalan dan perasaan mereka, dalam suasana kekeluargaan dan kasih.
6. Para pengajar juga memperhatikan kebutuhan murid-muridnya. Mereka berusaha membawa setiap murid dekat pada Tuhan dan belajar mempercayakan setiap kebutuhannya kepada Tuhan.
7. Mempunyai beban misi, tidak saja pada masyarakat sekitarnya tetapi juga di bagian dunia yang lain. Jemaat tidak saja memperhatikan penginjilan tetapi juga kebutuhan sosial mereka, sehingga tidak saja membawa berita keselamatan melalui iman pada Kristus, namun juga memperhatikan kebutuhan jasmani orang-orang lain.
8. Memberikan kesempatan pada jemaat untuk memberikan persembahan bahan maupun pelayanan mereka dalam berbagai bidang.
9. Jabatan kepemimpinan diberikan kepada mereka yang mendemonstrasikan sikap dan perbuatannya sebagai murid Kristus yang patut diteladani dan pada mereka yang sungguh-sungguh memperhatikan sesamanya.

D. Model Konseling Gereja Lokal.
Dalam tahun-tahun terakhir ini tuntutan yang semakin bertambah besar bagi pelayanan konseling telah mendorong studi yang serius bagi para profesional sebagai konselor. Konsep para konselor yang dididik secara tidak profesional telah menjadi populer. Bagi sejumlah orang gagasan "konseling" memiliki pesona dan daya tarik tertentu tetapi yang menyerang prospek sekolah formal. Terutama dalam gereja, kelompok kerja dan konseling teman sebaya telah menyebar dalam gaya epidemis, mengambil bentuk pertemuan pernikahan, latihan kepekaan antar pribadi, analisa pelaksanaan, dan yang semacam itu. Sangat disesalkan, peranan konseling banyak menarik orang-orang yang tidak kokoh yang terpikat oleh kesempatan untuk keintiman secara instan; beberapa orang tertarik oleh posisi otoritas yang kelihatan; yang lainnya melihat titel "Konselor" sebagai pemenuhan secara pribadi. Banyak orang secara tidak sadar sedang berharap untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri dalam kedudukan sebagai konselee.
Dengan semangat yang dikendalikan oleh kewaspadaan terhadap masalah- masalah yang berkaitan, saya meramalkan perkembangan konseling yang penuh arti dalam gereja lokal yang dijalankan oleh para anggota gereja. Apabila itu dioperasikan secara alkitabiah, maka anggota tubuh Kristus dapat memperlengkapi para individu dengan semua sumber yang dapat diperlukan untuk menyesuaikan signifikansi dan sekuriti dalam Kristus. Namun kita tidak seharusnya berpikir bahwa kesempatan untuk pelayanan (yang memenuhi keperluan makna) dan persekutuan (yang memenuhi keperluan rasa aman) secara otomatis akan disambut gembira dengan seksama oleh setiap orang percaya dan dengan jelas dipahami sebagai sesuatu yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Pola-pola yang tidak disadari dari tingkah laku yang berdosa dan pendekatan yang keliru terhadap kehidupan yang secara diam-diam berkepanjangan akan terus berfungsi meskipun ada komitmen yang tulus yang dilakukan secara sadar. Hati ini menipu. Keyakinan- keyakinan yang keliru sering bersikeras tetap tinggal sampai disingkapkan di dalam terang kesadaran yang jelas. Konseling individu sering dibutuhkan untuk menangani bentuk-bentuk masalah ini. Paulus mengingatkan orang-orang Kristen di Tesalonika bahwa ia telah bekerja dengan setiap orang secara individu dalam usahanya untuk membimbing mereka kepada kedewasaan rohani (1Tesalonika 2:11). Gereja lokal harus menerima tanggung jawab bagi pribadi secara individu untuk memperhatikan setiap anggota. Dengan nyata tidak ada staf pelayanan yang dengan memadai dapat menangani kebutuhan- kebutuhan yang sangat besar untuk memperhatikan individu dalam anggota tubuh Kristus. Hal ini juga bahkan tidak diusahakan. Pekerjaan itu milik anggota tubuh Kristus.
Ada tiga level konseling -- Feelings/Perasaan, Actions/Tingkah Laku, Thoughts/Pemikiran -- yang dapat dipadukan dengan luwes ke dalam struktur gereja lokal.
Masalah Perasaan Perasaan Alkitabiah | ^ v | Masalah Tingkah Laku Tingkah Laku Alkitabiah | ^ | | | Memastikan Komitmen | ^ v | Masalah Pemikiran Pemikiran Alkitabiah | ^ | | ------------>Mengajar-------------
Dalam model atas yang sederhana tetapi saya yakin komprehensif, tiga kemungkinan jenis konseling dapat dikenali [Perasaan => Dorongan; Tingkah Laku => Nasihat; Pemikiran => Penerangan].
Konseling melalui:
Level 1 Masalah Perasaan ------ DORONGAN -----> Perasaan Alkitabiah
Level 2 Masalah Tingkah Laku -- NASIHAT --> Tingkah Laku Alkitabiah
Level 3 Masalah Pemikiran ----- PENERANGAN --> Pemikiran Alkitabiah
Mengacu pada Diagram
Proposal saya adalah sebagai berikut: semua anggota tubuh Kristus dapat dan harus terlibat dalam konseling Level 1. Beberapa anggota tubuh Kristus (misalnya: tua-tua, gembala sidang, diaken, guru Sekolah Minggu, orang-orang lainnya yang dewasa rohani dan bertanggung jawab) dapat dilatih dalam konseling Level 2. Beberapa individu yang dipilih dapat diperlengkapi untuk menangani masalah- masalah yang lebih dalam, lebih sulit, kompleks dalam konseling Level 3. Jika dikembangkan sebagaimana mestinya, maka mungkin itu pengharapan saya yang optimis tetapi realistis bahwa setiap kebutuhan konseling (kecuali orang-orang yang terlibat masalah organik/biokimia) akan dipenuhi dalam kelompok gereja.
Bahan Kuliah Bimbingan Konseling
Untuk Mahasiswa Prog. S1 Teologia STT Efata Salatiga
Sumber
Halaman:
98 - 99
Judul Artikel:
Konseling Kristen yang Efektif
Penulis Artikel:
Dr. Gary R. Collins
Penerbit:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 1998
Situs:

3 komentar:

  1. ...salam kenal Pak ...maaf, mengapa untuk tulisan "Pentingnya Bimbingan Konseling di Sekolah", Bapak tidak cantumkan penulis aslinya yaitu St Kartono? ..kiranya akan fair jika cantumkan namanya ...

    BalasHapus
  2. Makasih Pak atas revisinya. Ya, saya minta maaf, dengan ini saya cantumkan penulis asinya. Bapak ST. Kartono. Demikian harap Maklum, kami pakai hanya untuk kalanyan sendiri.

    Kepada semua pembaca blog saya, saya minta maaf atas kekurangan saya dan terima kasih. Salam

    Salam kenal juga
    Timotius Sukarman.

    BalasHapus
  3. Kepada Bapak/Ibu/sdr yang membuthkan keterangan untuk gambar lidi atau cara mencari air bawah Tanah Murah dan mudah bisa hub.saya langsung atau kirim email ke 085229616816. Saya akan kirim lengkap melalui email Bapak/Ibu sdr.


    Salam
    Timotius Sukarman

    BalasHapus