Kebahagiaan adalah Iman
Oleh Vic. Timotius Sukarman, M.Th
“Besar kecilnya kesuksesanmu ditentukan oleh besar kecilnya keyakinanmu”. David J. Schwartz
Tuhan menciptakan manusia bukan untuk dibuat menderita,
atau dibuat permainan agar menderita. Tuhan menghendaki agar manusia hidup
berbahagia. Sebelum Allah menciptakan manusia, Ia terlebih
dulu menciptakan langit dan bumi dengan
segala isinya supaya manusia dapat hidup berbahagia diatasnya. Kebutuhannya
telah disediakan disana. Manusia diperbolehkan mengolah alam menurut kebutuhan
dan kepentingannya. Ia berkuasa atas ikan dilaut, burung-burung di udara dan segala binatang di darat.
Allah juga memberikan kekuatan kepada manusia untuk melaksanakan tugas itu.
Manusia diangkat menjadi penguasa dan wakil Allah atas segala cipataan-Nya. Ini berarti manusia diminta
untuk melakukan tugas kebudayaan dan pembangunan. Manusia harus bertanggung
jawab atas tugas yang diterima itu. Tanggung jawab yang diterimannya itu harus
dinyatakan melalui hidupnya sehari-hari, baru bisa
bahagia.
Supaya kebahagiaan manusia dapat terwujud, Allah
menciptakan manusia laki-laki dan
perempuan. Allah memberikan Hawa kepada manusia pertama Adam dan memberikan nama Hawa untuk manusia laki-laki,
sebagia suami istri. Mereka saling menolong didalam tugas yang diserahkan Tuhan. Manusia tidak dapat hidup sendiri,
ia selalu berteman dengan sesamanya manusia. Menurut Kitab Kejadian 1:28-30, respon manusia supaya berbahagia
adalah dengan: Beranak cuculah dan
bertambah banyak; Memenuhi bumi dan menaklukkannya; dan berkuasa atas segala binatang;Mengusahakan makanannya dari
tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan pohon yang buahnya berbiji.
Sekali lagi untuk kebahagiaan manusia, disamping manusia
diciptakan dengan istimewa, diciptakan pada hari keenam (setelah segala sesuatu diciptakan untuk
kebutuhan hidupnya) dan dengan tugas-tugasnya seperti
tersebut diatas, untuk kebaikan kebahagiaan manusia Allah juga:
1.
Mengingatkan manusia akan sesuatu
yang dapat menyusahkannya, dengan dilarang makan buah pohon pengetahuan yang
baik dan yang jahat.
2.
Allah mengaruniakan
kebebasan kepada manusia, namun kebebasan ini bertujuan untuk mempererat hubungan yang
damai, hikmat, dan mesra.
Semua ciptaan Allah dari hari
pertama sampai hari keenam sangat baik, indah, dan sempurna. Seperti yang
dikatakan dalam Alkitab, bahwa Allah melihat segala ciptaan-Nya itu sunguh amat baik (Kej 1:30). Setiap ciptaan Allah memiliki manfaat
masing-masing. Allah telah mengatur semuanya secara rapi dan teratur, sesuai
dengan manfaat dan kebutuhannya.
Misalnya, sebelum Allah menciptakan tumbuhan, Allah telah menyediakan
terang, air dan tempat tumbuhan supaya
bisa hidup, yaitu daratan.
Sebelum Allah menciptakan burung
pada hari kelima, supaya burung itu bisa hidup, maka Allah telah menyediakan
tempatnya yaitu, langit, pohon-pohonan sebagai makanannya dan sebagainya.
Begitu juga sebelum Allah menciptakan manusia, Allah telah menyediakan tempat
dan segala kebutuhan hidupnya, sehingga manusia dapat hidup dan berbahagia.
Disamping Allah sanggup atau mampu
untuk menciptakan sesuatu kebahagiaan bagi manusia, Dia juga mempunyai
mewenang atas sesuatu untuk menentukan, mengurus ciptaan-Nya itu. Sumber kebahagiaan hanya ada pada
Tuhan. Dengan demikian,
menghayati hidup yang bahagia, adalah menghadirkan Sumber Kebahagiaan itu ke
dalam iman kita, ke dalam sanubari kita. Dengan demikian, Tuhanlah yang bekerja
di dalam hidup kita untuk memberikan kebahagiaan dalam keadaan apapun.
Kebahagiaan Sejati
Dari apa yang saya
sampaikan sekilas tentang kemungkinan besar manusia dapat hidup bahagia, bahkan
kebahagiaan di dalam Tuhan sebagai sumber kehidupan dan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan
sejati bukan lagi ditentukan oleh hal-hal yang berada di luar, tetapi
ditentukan oleh yang di dalam, yaitu hati yang beriman kepada Tuhan. Hati yang
sungguh bahagia tidak lagi ditentukan oleh gagal atau berhasil, untung atau
rugi, menerima atau kehilangan, memiliki atau tidak memiliki. Kebahagiaan
adalah soal hati yang tetap mengatakan “bahagia dalam keadaan apapun”. Jadi kebahagiaan soal keputusan karena iman, bukan karena akal atau
pikiran kita, keadaan kita, apalagi materi yang kita miliki. Perhatikan kata orang bijak ini:
“Jika Anda mengejar materi, materi itu
akan membuat Anda sengsara. Tetapi jika Anda mengejar kebahagiaan, materi akan
mengikuti”.
Dengan demikian, kekuatan untuk dapat menghayati
kebahagiaan, bukan berasal dari kekuatan kemanusiaan semata, akan tetapi,
justru kekuatan Tuhanlah yang menjadi sumber kebahagiaan itu. Pada saat kita
menerima keberuntungan, dengan kekuatan-Nya, kita bersyukur. Sebaliknya, pada
saat menerima kemalangan, dengan kekuatan-Nya kita tetap teguh berdiri. Kebahagiaan adalah soal persekutuan hati kita
dengan Tuhan. Semakin dapat menghayati kasih Tuhan kepada diri kita, akan
semakin merasakan kebahagiaan hidup yang sejati. Oleh karena itu, kebahagiaan tidak
lagi ditentukan oleh pihak lain. Tidak lagi ditentukan oleh berhasil memiliki
atau tidak. Memang, berhasil memiliki atau menguasai sesuatu yang kita inginkan
merupakan kebahagiaan tersendiri. Akan tetapi, bukan berarti jika tidak
berhasil memiliki, disebut tidak berbahagia.
Dalai Lama, dalam
bukunya yang berjudul “Seni Hidup Bahagia”, menyatakan, “Yang lebih dapat diandalkan adalah tidak memiliki yang kita inginkan,
tetapi menghargai yang kita miliki”; mensyukuri dan menikmati yang sudah
diberikan Tuhan kepada kita. Bahkan ada seseorang yang berani mengatakan dengan
iman, bahwa “aku bahagia, jika aku dapat membahagiakan orang lain” dan
sebaliknya, dirinya akan merasa tidak bahagia, jika dalam hidupnya menyusahkan
atau membuat orang menderita. Maka kebahagiaan akan terwujud dalam dirinya,
apabila salah satunya dapat menyangkal
diri demi kepentingan orang lain. Mengesampingkan kebutuhan dan
keinginan sendiri demi kebahagiaan orang lain.
Rasul Paulus sebagai
contoh dalam memberi berkata kepada jemaat Korintus, akan lebih bahagia memberi
dari pada menerima. “Dalam segala sesuatu telah
kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu
orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia
sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima."
(Kisah Para Rasul 20:35)
Kebenaran kepada Kebahagiaan
Memang tidak dapat dimungkiri, dunia ini menjadi sarana kebahagiaan hidup manusia. Akan tetapi,
jika dilakukan dengan tidak benar, dunia ini akan menjadi sumber penderitaan
atau malapeta bagi manusia. Kenikmatan
duniawi salah satu kebahagiaan manusia. Akan tetapi, jika kenikmatan itu dicari
dengan tidak benar dan tidak baik, kenikmatan itu akan menjadi malapetaka.
Contoh dari orang-orang yang memilki jabatan, kesempatan,
kebebasan dan harta yang banyak. Tetapi karena cara mendapatkannya dengan cara
yang tidak benar, tidak baik dan menyalahi prosedur, maka pada akhirnya, bukan kebahagiaan yang
dirasakan, tetapi penderitaan demi penderitaan.
Apapun juga, jalan kebenaran menjadi syarat utama
kebahagiaan. Meskipun harus menerima penderitaan, jalan kebenaran tetap akan
menjanjikan kebahagiaan. Harus menjadi keyakinan orang beriman, jika kita setia
berjalan di jalan kebenaran; berjalan dalam jalan atau kehendak Tuhan; yang hidup menurut jalan yang
ditunjukkanNya (Mazmur 128:1), Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita. Jika
kita tetap berpegang teguh kepada kebenaran, Tuhan akan senantiasa menguatkan
dan memberikan kebahagiaan hidup tersendiri.
Persoalannya, sering kita tidak sabar, suka menggunakan
jalan pintas, tidak peduli dengan kebenaran. Ketika melihat orang lain berhasil
mendapatkan pekerjaan atau menduduki jabatan tertentu karena menyuap, mendapatkan
harta banyak karena korupsi, karena manipulasi, kitapun kemudian tergoda untuk
mengikuti jalan seperti itu. Kita
tidak peduli, apakah itu benar atau salah, yang penting berhasil. Bahkan ada orang tua yang
terang-terangan berkata kepada anaknya yang akan melamar pekerjaan, “Anakku, kamu tidak usah takut. Bapak punya
koneksi, punya relasi atau hubungan yang
kuat, dan bapak sudah menyiapkan uang untuk itu. Bapak yakin, dengan
koneksi dan uang yang cukup, kamu akan berhasil”.
Barangkali, kenyataan hidup di sekitar kita memang demikian. Yang berhasil adalah yang punya
uang dan punya koneksi atau hubungan yang dekat dengan orang-orang yang “hebat”.
Akan tetapi, orang yang takut akan Tuhan, tidak boleh menyerah dan mengikuti
arus seperti itu. Orang beriman harus
yakin bahwa kebenaran, kejujuran, dan keadilan pasti akan menang. Orang beriman
harus juga mempunyai pengharapan, ditengah-tengah “kegelapan”, pasti ada sinar
terang, meskipun hanya sebuah lilin. Seperti yang dialami nabi Mikha. Dia tetap menunggu,
berharap dan percaya bahwa Tuhan akan mendengarksan doanya. Bakhan dengan yakin
ia katakan : “.....Sekalipun aku jatuh, aku akan bangun pula, sekalipun aku
duduk dalam gelap, TUHAN akan menjadi terangku.(Mikha 7:7-8).
Jadi walaupun kelihatannya kita hidup dalam suasana
muram, tetapi pasti ada sinar kebenaran. Orang beriman diberkati karena mengandalkan
Tuhan dan menaruh harapan masa depan itu hanya kepada Dia. Perhatikan penyataan
iman Nabi Yeremia ini: “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN,
yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi
air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami
datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun
kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah”.
Selanjutnya kepada orang yang tidak mengandalkan Tuhan, Yeremia
berkata:”Betapa liciknya hati, lebih
licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat
mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk
memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya,
setimpal dengan hasil perbuatannya." Seperti ayam hutan yang mengerami
yang tidak ditelurkannya, demikianlah orang yang menggaruk kekayaan secara
tidak halal, pada pertengahan usianya ia akan kehilangan semuanya, dan pada
kesudahan usianya ia terkenal sebagai seorang bebal”. (Yeremia 17:7-11)
Semua orang menghendaki hidup bahagia. Kebahagiaan yang
ditentukan oleh dunia ini hanya akan menjadikan manusia menjadi sengsara.
Kebahagiaan sejati adalah “merdeka” dari rongrongan nafsu manusiawi. Kebahagiaan
sejati adalah mendahulukan Tuhan, dalam hidup kita dengan pelayanan, berkarier
dan keluarga dengan dasar kasih, kemudian taat dan mengikuti jalan kebenaran
yang ditunjukkanNya. Mari kita prioritaskan yang utama, hadirkan Tuhan di dalam kehidupan keluarga, pelayanan
dan karier. Arahkan hidup keluarga kita mengikuti kebenaran Tuhan. Jika kita
konsekuen terhadap kebenaran ini, dan mau mencobanya, kebahagiaan sejati akan
menjadi milik kita, kini dan selama-lamanya.
Untuk mempersiapkan masa depan yang penuh harapan
(kebahagiaan), perhatikan tiga nasehat Rasul Paulus dalam Efesus 5:15-16 dan
Kolose 3:2, yaitu : pertama, perhatikan dengan sesaksama bagaimana kita hidup,
kedua pergunakan waktu yang ada dan ketiga, pikirkanlah perkara yang diatas, bukan yang dibumi. Dengan
pelayanan terbih dahulu, karier atau bekerja dan berkeluarga, akan hidup
sejahtera dan bermakna bagi sesama. Anonim berkata: “Saya belajar bahwa tidak
ada cara instan di dunia ini, semua butuh proses dan metode, kecuali saya ingin
kecewa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar