Bahagia bukan memiliki,
tapi menikmati
Oleh : Vic. Timotius Sukarman, S.PAK, M.Th
Pada bagian ini kembali pada
pertanyaan awal, kapan kita bisa merasakan bahagia? Banyak orang meyakini bahwa
kebahagiaan akan terwujud atau dirasakan ketika berhasil, mendapatkan sesuatu,
memiliki dan atau menguasai sesuatu hal. Dengan kata lain, konsep kebahagiaan
adalah memiliki dan menguasai. Misalnya, saya berhasil memiliki
televisi yang saya idamkan, saya akan bahagia karena saya berhasil memiliki
televisi itu. Seandainya saya ingin menjadi guru, karena nanti akan mendapatkan
tunjangan profesi yang besarnya sama dengan satu bulan gaji, (gajinya lipat dua),
kerjanya sama saja, kemudian saya
berhasil menjadi guru, saya akan merasakan kebahagiaan. Sebaliknya, jika saya
gagal menjadi guru, bukan kebahagiaan yang saya dapat, tetapi yang saya
dapatkan adalah kegagalan.
Jadi, kebahagiaan sama dengan
keberhasilan, penderitaan sama dengan kegagalan. Bahagia atau menderita
ditentukan oleh hal-hal dari luar, hal-hal yang lahiriah, seperti hadirnya
televisi baru atau berhasilnya mendapatkan jabatan sebagai seorang guru dan
sebagainya.
Pertanyaannya, apakah setelah
berhasil memiliki televisi baru, kita akan terus merasakan kebahagiaan itu?
Apakah setelah mendapatkan jabatan sebagai seorang pendidik, kita akan terus
merasakan kebahagiaan? Ternyata tidak semudah itu. Kebahagiaan yang bersumber
dan berdasar dari sikap memiliki dan menguasaiternyata
sangat rentang, mudah jatuh, bahkan dapat menjadi pemicu penderitaan. Ketika
seseorang menganggap bahwa berhasil menjadi guru, polisi, anggota Dewan, Wali
kota atau jawaban lain yang strategis adalah kebahagiaan, maka apabila dalam
jabatan itu tidak merasakan kebahagiaan, maka ia akan menggunakan berbagai
cara, entah halal atau haram, untuk mendapatkan “kebahagiaan” melalui jabatan
itu. Setelah berhasil mendapatkannya, ia akan mempertahankan dan memanfaatkan
jabatan itu dengan sesuka hati, menggunakan gaji yang berlipat dengan tidak
benar, hidup berpoya-poya, hidup glamor yang akhirnya justru melalui jaabatan
tersebut membawa hidup dalam penderitaan.
Hidup di dunia ini hanya sekali.
Kita semua menginginkan hidup yang bahagia, baik sebagai pribadi maupun sebagai
keluarga. Persoalannya, kebahagiaan yang bagaimana yang kita cita-citakan. Tuhan berfirman dengan
sangat jelas, yang berbahagia adalah yang takut akan Tuhan, yaitu hidup menurut jalan
yang ditunjukkan-Nya.
Oleh sebab itu Rasul Paulus sebagai
orang yang sukses secara lahiriah (pendidikan, kekuasaan, jabatan dan pasti
harta), namun setelah mengikut Tuhan Yesus, semua dianggapnya “sampah”(Filipi 3:8).
Kebahagiaan sejati bukan
karena memiliiki atau menguasai, tetapi melayani. Dia berkata: “Tidak tahukah kamu, bahwa mereka yang melayani dalam tempat
kudus mendapat penghidupannya dari tempat kudus itu dan bahwa mereka yang
melayani mezbah, mendapat bahagian mereka dari mezbah itu”? (I Korintus 9:13). Bahkan dia menetegaskan:
“Tetapi menurut pendapatku, ia lebih
berbahagia, kalau ia tetap tinggal dalam keadaannya. Dan aku berpendapat, bahwa
aku juga mempunyai Roh Allah.”(I Korintus 7: 40). Dalam Kitab
Wahyu, yang berbahagia mereka yang membasuh jubahnya. Mereka akan memperoleh
hak atas pohon-pohon kehidupan dan masuk melalui pintu-pintu gerbang ke dalam
kota itu.(Wahyu 22:14).
Kebahagiaan
adalah Iman
“Besar kecilnya kesuksesanmu ditentukan oleh besar kecilnya keyakinanmu”. David J. Schwartz
Tuhan menciptakan manusia bukan
untuk dibuat menderita, atau dibuat permainan agar menderita. Tuhan menghendaki
agar manusia hidup berbahagia. Sebelum Allah menciptakanmanusia, Ia terlebih dulu menciptakan langit dan bumi dengan
segala isinya supaya manusia dapat hidup berbahagia diatasnya. Kebutuhannya
telah disediakan disana. Manusia diperbolehkan mengolah alam menurut kebutuhan
dan kepentingannya. Ia berkuasa atas ikan dilaut, burung-burung diudara dan
segala binatang di darat. Allah juga memberikan kekuatan kepada manusia untuk
melaksanakan tugas itu. Manusia diangkat menjadi penguasa dan wakil Allah atas
segala cipataan-Nya. Ini berarti manusia diminta
untuk melakukan tugas kebudayaan dan pembangunan. Manusia harus bertanggung
jawab atas tugas yang diterima itu. Tanggung jawab yang diterimannya itu harus
dinyatakan melalui hidupnya sehari-hari, baru bisa bahagia.
Supaya kebahagiaan manusia dapat
terwujud, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Allah memberikan Hawa
kepada manusia pertama Adam dan memberikan nama
Hawauntuk manusia laki-laki, sebagia suami istri. Mereka saling menolong didalam tugas yang diserahkan Tuhan. Manusia tidak dapat
hidup sendiri, ia selalu berteman dengan sesamanya manusia.Menurut Kitab Kejadian 1:28-30, respon manusia supaya
berbahagia adalah dengan:Beranak cuculah dan bertambah banyak; Memenuhi bumi dan menaklukkannya; dan berkuasa atas segala binatang;Mengusahakan makanannya dari
tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan pohon yang buahnya berbiji.
Sekali lagi untuk kebahagiaan
manusia, disamping manusia
diciptakan dengan istimewa, diciptakan pada hari keenam (setelah segala sesuatu
diciptakan untuk kebutuhan hidupnya) dan dengan
tugas-tugasnya seperti tersebut diatas,
untuk kebaikan kebahagiaan manusia Allah juga:
1.
Mengingatkan manusia akan sesuatu
yang dapat menyusahkannya, dengan dilarang makan buah pohon pengetahuan yang
baik dan yang jahat.
2.
Allah mengaruniakan
kebebasan kepada manusia, namun kebebasan ini bertujuanuntuk mempererat
hubungan yang damai, hikmat, dan mesra.
Semua ciptaan Allah dari hari
pertama sampai hari keenam sangat baik, indah, dan sempurna. Seperti yang
dikatakan dalam Alkitab, bahwa Allah melihat segala ciptaan-Nya itu sunguh amat baik(Kej 1:30). Setiap ciptaan Allah memiliki manfaat
masing-masing. Allah telah mengatur semuanya secara rapi dan teratur, sesuai
dengan manfaat dan kebutuhannya.
Misalnya, sebelum Allah menciptakan tumbuhan, Allah telah menyediakan
terang, air dan tempat tumbuhan supaya
bisa hidup, yaitu daratan.
Sebelum Allah menciptakan burung
pada hari kelima, supaya burung itu bisa hidup, maka Allah telah menyediakan
tempatnya yaitu, langit, pohon-pohonan sebagai makanannya dan sebagainya.
Begitu juga sebelum Allah menciptakan manusia, Allah telah menyediakan tempat
dan segala kebutuhan hidupnya, sehingga manusia dapat hidup dan berbahagia.
Disamping Allah sanggup atau mampu
untuk menciptakan sesuatu kebahagiaan bagi
manusia, Dia juga mempunyai
mewenang atas sesuatu untuk menentukan, mengurus ciptaan-Nya itu.Sumber
kebahagiaan hanya ada pada Tuhan. Dengan demikian, menghayati hidup yang bahagia, adalah
menghadirkan Sumber Kebahagiaan itu ke dalam iman kita, ke dalam sanubari kita.
Dengan demikian, Tuhanlah yang bekerja di dalam hidup kita untuk memberikan
kebahagiaan dalam keadaan apapun.
Kebahagiaan Sejati
Dari apa yang saya sampaikan sekilas tentang kemungkinan
besar manusia dapat hidup bahagia, bahkan kebahagiaan di dalam Tuhan sebagai
sumber kehidupan dan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati bukan lagi
ditentukan oleh hal-hal yang berada di luar, tetapi ditentukan oleh yang di
dalam, yaitu hati yang beriman kepada Tuhan. Hati yang sungguh bahagia tidak
lagi ditentukan oleh gagal atau berhasil, untung atau rugi, menerima atau
kehilangan, memiliki atau tidak memiliki. Kebahagiaan adalah soal hati yang
tetap mengatakan “bahagia dalam keadaan apapun”. Jadi kebahagiaan soal keputusan karena iman, bukan karena akal atau
pikiran kita, keadaan kita, apalagi materi yang kita miliki. Perhatikan kata orang bijak ini:
“Jika Anda mengejar materi, materi itu
akan membuat Anda sengsara. Tetapi jika Anda mengejar kebahagiaan, materi akan
mengikuti”.
Dengan demikian, kekuatan untuk
dapat menghayati kebahagiaan, bukan berasal dari kekuatan kemanusiaan semata, akan
tetapi, justru kekuatan Tuhanlah yang menjadi sumber kebahagiaan itu. Pada saat
kita menerima keberuntungan, dengan kekuatan-Nya, kita bersyukur. Sebaliknya,
pada saat menerima kemalangan, dengan kekuatan-Nya kita tetap teguh
berdiri. Kebahagiaan adalah soal
persekutuan hati kita dengan Tuhan. Semakin dapat menghayati kasih Tuhan kepada
diri kita, akan semakin merasakan kebahagiaan hidup yang sejati. Oleh karena
itu, kebahagiaan tidak lagi ditentukan oleh pihak lain. Tidak lagi ditentukan
oleh berhasil memiliki atau tidak. Memang, berhasil memiliki atau menguasai
sesuatu yang kita inginkan merupakan kebahagiaan tersendiri. Akan tetapi, bukan
berarti jika tidak berhasil memiliki, disebut tidak berbahagia.
Dalai Lama, dalam bukunya yang berjudul “Seni Hidup Bahagia”, menyatakan, “Yang lebih dapat diandalkan adalah tidak
memiliki yang kita inginkan, tetapi menghargai yang kita miliki”; mensyukuri
dan menikmati yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Bahkan ada seseorang yang
berani mengatakan dengan iman, bahwa “aku bahagia, jika aku dapat membahagiakan
orang lain” dan sebaliknya, dirinya akan merasa tidak bahagia, jika dalam
hidupnya menyusahkan atau membuat orang menderita. Maka kebahagiaan akan
terwujud dalam dirinya, apabila salah satunya dapat menyangkal diri demi kepentingan orang lain.
Mengesampingkan kebutuhan dan keinginan sendiri demi kebahagiaan orang lain.
Rasul Paulus sebagai contoh dalam memberi berkata kepada jemaat Korintus,
akan lebih bahagia memberi dari pada menerima. “Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh
kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang
lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah
mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima."
(Kisah Para Rasul 20:35)
Kebenaran kepada Kebahagiaan
Memang tidak dapat dimungkiri, dunia
ini menjadi sarana kebahagiaan hidup manusia. Akan tetapi, jika dilakukan dengan tidak benar,
dunia ini akan menjadi sumber penderitaan atau malapeta bagi manusia. Kenikmatan duniawi salah satu
kebahagiaan manusia. Akan tetapi, jika kenikmatan itu dicari dengan tidak benar
dan tidak baik, kenikmatan itu akan menjadi malapetaka.
Contoh dari orang-orang yang memilki
jabatan, kesempatan, kebebasan dan harta yang banyak. Tetapi karena cara
mendapatkannya dengan cara yang tidak benar, tidak baik dan menyalahi
prosedur, maka pada akhirnya, bukan
kebahagiaan yang dirasakan, tetapi penderitaan demi penderitaan.
Apapun juga, jalan kebenaran menjadi
syarat utama kebahagiaan. Meskipun harus menerima penderitaan, jalan kebenaran
tetap akan menjanjikan kebahagiaan. Harus menjadi keyakinan orang beriman, jika
kita setia berjalan di jalan kebenaran. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan
kita. Jika kita tetap berpegang teguh kepada kebenaran, Tuhan akan senantiasa
menguatkan dan memberikan kebahagiaan hidup tersendiri.
Persoalannya, sering kita tidak
sabar, suka menggunakan jalan pintas, tidak peduli dengan kebenaran. Ketika
melihat orang lain berhasil mendapatkan pekerjaan atau menduduki jabatan
tertentu karena menyuap, mendapatkan harta banyak karena korupsi, karena
manipulasi, kitapun kemudian tergoda untuk mengikuti jalan seperti itu. Kita
tidak peduli, apakah itu benar atau salah, yang penting berhasil.Bahkan ada
orang tua yang terang-terangan berkata kepada anaknya yang akan melamar
pekerjaan, “Anakku, kamu tidak usah
takut. Bapak punya koneksi, punya relasi atau hubungan yang kuat, dan bapak sudah menyiapkan uang untuk
itu. Bapak yakin, dengan koneksi dan uang yang cukup, kamu akan berhasil”.
Barangkali, kenyataan hidup di
sekitar kita memang demikian. Yang
berhasil adalah yang punya uang dan punya koneksi atau hubungan yang dekat
dengan orang-orang yang “hebat”. Akan tetapi, orang yang takut akan Tuhan,
tidak boleh menyerah dan mengikuti arus seperti itu. Orang beriman harus yakin bahwa kebenaran, kejujuran, dan
keadilan pasti akan menang. Orang beriman harus juga mempunyai pengharapan,
ditengah-tengah “kegelapan”, pasti ada sinar terang, meskipun hanya sebuah
lilin.Seperti yang dialami
nabi Mikha. Dia tetap menunggu, berharap dan percaya bahwa Tuhan akan
mendengarksan doanya. Bakhan dengan yakin ia katakan : “.....Sekalipun aku
jatuh, aku akan bangun pula, sekalipun aku duduk dalam gelap, TUHAN akan
menjadi terangku.(Mikha 7:7-8).
Jadi walaupun kelihatannya kita
hidup dalam suasana muram, tetapi pasti ada sinar kebenaran. Orang beriman
diberkati karena mengandalkan Tuhan dan menaruh harapan masa depan itu hanya
kepada Dia. Perhatikan penyataan iman
Nabi Yeremia ini: “Diberkatilah
orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan
seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi
batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap
hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti
menghasilkan buah”.
Selanjutnya kepada orang yang tidak
mengandalkan Tuhan, Yeremia berkata:”Betapa
liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu:
siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang
menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan
tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya." Seperti ayam
hutan yang mengerami yang tidak ditelurkannya, demikianlah orang yang menggaruk
kekayaan secara tidak halal, pada pertengahan usianya ia akan kehilangan
semuanya, dan pada kesudahan usianya ia terkenal sebagai seorang bebal”.
(Yeremia 17:7-11)
Semua orang menghendaki hidup
bahagia. Kebahagiaan yang ditentukan oleh dunia ini hanya akan menjadikan
manusia menjadi sengsara. Kebahagiaan sejati adalah “merdeka” dari rongrongan
nafsu manusiawi. Kebahagiaan sejati adalah mendahulukan Tuhan, dalam hidup kita
dengan pelayanan, berkarier dan keluarga dengan dasar kasih, kemudian taat dan
mengikuti jalan kebenaran yang ditunjukkanNya. Mari kita prioritaskan yang
utama, hadirkan Tuhan di dalam kehidupan
keluarga, pelayanan dan karier. Arahkan hidup keluarga kita mengikuti kebenaran
Tuhan. Jika kita konsekuen terhadap kebenaran ini, dan mau mencobanya,
kebahagiaan sejati akan menjadi milik kita, kini dan selama-lamanya.
Untuk mempersiapkan masa depan yang
penuh harapan (kebahagiaan), perhatikan tiga nasehat Rasul Paulus dalam Efesus
5:15-16 dan Kolose 3:2, yaitu : pertama, perhatikan dengan sesaksama bagaimana
kita hidup, kedua pergunakan waktu yang ada dan ketiga, pikirkanlah
perkara yang diatas, bukan yang dibumi.
Dengan pelayanan terbih dahulu, karier atau bekerja dan berkeluarga, akan hidup
sejahtera dan bermakna bagi sesama. Anonim berkata: “Saya belajar bahwa tidak
ada cara instan di dunia ini, semua butuh proses dan metode, kecuali saya ingin
kecewa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar